Category Archives: KELAS B

PARADIGMA PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA

Standard

PARADIGMA PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah IPS SD

Disusun Oleh:

Ibnu Chabib (2009-33-076)

Sri Wahyuana Y (2009-33-)

Amrina Amaliya (2009-33-087)

Anni Nailul Farih (2009-33-112)

Kelas : B

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

      Kenyataan menunjukkan bahwa program )pendidikan) Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dan Pendidikan Disisplin Ilmu Pengetahuan Soail (PIPS) telah menjadi bagian dari wacana kurikulum system pendidikan Indonesia.

      Secara kelembagaan, IIS dikelola dan dibina di fakultas-fakultas keilmuan social dan humaniora murni. IIs yang dikelola dan dibina di semua fakultas tersebut mencakup pendidikan ilmu geografi, ilmu sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu pemerintahan, ilmu hokum, ilmu komunikasi, dan pisikologi. Masing-masing program pendidikan bertujuan menghasilkan ilmuwan sosila dalam berbagai tingkat.

        Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) merupakan program pendidikan sosial pada jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah yang mencakup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), IPS terpadu di Sekolah Dasar (SD) dan paket A luar sekolah ; IPS terkolerasi di Sekolah Tingkat Lanjutan Pertama (SLTP) dan paket B Luar Sekolah, yang didalamnya mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi, dan IPS terpisah di Sekolah Menengah Umum (SMU) yang terdiri dari mata pelajaran geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, ekonomi dan tata negara. Tujuan utama program pendidikan tersebut adalah menyiapkan peserta didik sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik dan memberi dasar pengetahuan dalam masing-masing bidangnya untuk kelanjutan pendidikan jenjang di atasnya.

        Sementara itu, PDIPS pada dasarnya merupakan program pendidikan guru IPS yang dikelola dan dibina di Fakultas Pendidikan IPS Institut Keguruna dan Ilmu Pendidikan (IKIP), dan di Jurusan Pendidikan IPS Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) atau Fakults Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) suatu universitas. Tujuan utama programa ini adalah menghsilkan guru IPS dan PPKn yang pada dasarnya menguasai konsep-konsep esensial ilmu-ilmu social dan materi disiplin ilmu lainnya yang terkait, dan mampu membelajarkan peserta didiknya secara bermakna.

  1. Rumusan Masalah

      Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana paradigm pendidikan IPS di Indonesia?

  1. Tujuan Penulisan

      Tujuan penulisan makalah ini yaitu sebagai pengantar bagi para guru IPS agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.

 

BAB II

PEMBAHASAN

    1. Pengertian IPS

      Seperti halnya IPA, Matematika, Bahasa Indonesia, IPS merupakan bidang studi. Dengan demikian IPS sebagai ilmu studi memiliki garapan yang dipelajari cukup luas. Bidang garapannya itu meliputi gejala-gejala dan masalah kehidupan manusia di masyarakat. Tekanan yang dipelajari IPS berkenaan dengan gejala dan maslah kehidupan masyarakat bukan pada teori dan keilmuannya, melainkan pada kenyataan kehidupankemasyarakatan. Dari gejala dan amsalah social tadi ditelaah, dianalisis factor-faktornya, sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya.

      Menurut Ischak, dkk (2005: 1.36), IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosialdi masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan atau suatu perpaduan. Sifat IPS sama dengan studi social yaitu praktis, interdisipliner dan dianjurkan mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

    1. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia

Menurut Udin S. Winataputra (2009: 1.39), perkembangan social studies melukiskan bagaimana pada dunia persekolahan telah menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan terpadu, yang secara etistimologis telah mengarungi suatu perjalanan pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori dan diwadahi oleh NCSS (National Council for the Social Studies)  sejak tahun 1935. Pemikiran tersebut secara tersurat dan tersirat merentang dalan suatu kontinum gagasan “social studies” Edgar Bruce Wesley (1935) sampai kegagasan “social studies” terbaru dari NCSS tahun 1994.

     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran social studies di Amerika Serikat yang kita anggap sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidag itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis antara lain diplubikasikan oleh NCSS sejak pertemuan organisasi tersebut untuk pertama kalinya tanggal 28-30 November 1935 sampai sekarang. Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat sukar karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga profesional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana Pendidiksn IPS Indonesia) usianya masih sangat muda dan poduktifitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan konumikasi antar anggota secara insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dam pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat kurikulum IPS melalui Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (PUSKUR). Pengaruh akademis dari komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amreika.

     Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS daam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah adan penelitian yang relevan di bidang itu.

     Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut  Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu, konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut. Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut  dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit komentar.

     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial: Pengantar Menuju Sekolah Komprehensif”.

     Sedangakn dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, dugunakan tiga istilah yakni (1) Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS; (2) Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan; dan (3) Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.

     Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk yakni, (1) pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial; (2) pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi; dan (3) pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.

     Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang emang dalam banyak hal mengadopsi inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadai tradisi citizenship traansmission; (2) Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungimata pelajaran Geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976). Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan  yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.

     Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba (Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.

     Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS  terpadu di SD kelas III s/d kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga, pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978). Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II; Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.

     Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29). Sedang untuk program IPS mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk “….memberikan bekal kepada siswa mengenal beberapa konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi”  (Depdikbud, 1993: 29). Dari rumusan tujuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan Ekonomi di SMU baik untuk program umum maupun untuk program IPS mengisyaratkan diterapkannya tradisi social studies taught as social science ( Barr, dan kawan-kawan: 1978).

     Tradisi  ini tampaknya diterapkan juga dalam mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Tata Negara, Sejarah budaya dan Antropologi sebagai mana dapat dikaji dari masing-masing tujuannya. Mata palajaran Soaiologi memiliki tujuan “…untuk memberikan kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat” (Depdikbud, 1993: 30). Sementara itu mata pelajaran kemampuan dan sikap rasional yang bertanggung jawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Depdikbud, 1993: 30). Sedangkan mata pelajaran Tata negara menggariskan tujuan”…untuk meningkatkan kemampuan agar siswa memahami penyelenggaraan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan negara sesuai dengan tata kelembagaan negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara RI maupun negara lain” (Depdikbud, 1993: 31).

     Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat (Depdikbud, 1993: 33).

     Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.

     Dalam pembahasannya tentang “Perspektif Pendidikan Ilmu (Pengetahuan) Sosial”, Achmad Sanusi (1998) dalam konteks pembahasannya yang sangat mendasar mengenai pendidikan IPS di IKIP, menyinggung sekidit tentang pengajaran IPS di sekolah. Sanusi (1998: 222-227) melihat pengajaran IPS di sekolah cenderung menitikberatkan pada penguasaan hafalan; proses pembelajaran yang terpusat pada guru; terjadinya banyak miskonsepsi; situasi kesal yang membosankan siswa; ketidaklebihunggulan guru dari sumber lain; ketidakmutahiran sumber belajar yang ada; sistem ujian yang sentralistik; pencapaian tujuan kognitif yang “mengelit-bawang”; rendahnya rasa percaya diri siswa sebagai akibat dari amat lunaknya isi pelajaran, kontradiksi materi dengan kenyataan,dominannya latihan berfikir taraf rendah, guru yang tidak tangguh, persepsi negatif dan prasangka buruk dari masyarakat terhadap kedudukan dan peran ilmu sosial dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, Sanusi (1998) merekomendasikan perlunya reorientasi pengembangan yang mencakup peningkatan mutu SDM dalam hal ini guru agar lebih mampu mengembangkan kecerdasan siswa lebih optimal melalui variasi interaksi dan pemanfaatan media dan sumber belajar yang lebih menantang. Bersamaan itu perlu diperlukan upaya peningkatan dukungan sarana dan prasarana serta insentif yang fair. Dalam dimensi konseptual, Sanusi (1998: 242-247) menyarankan perlunya batasab yang jelas mengenai tujuan dan konten pendidikan ilmu sosial untuk berbagai jenjang pendidikan, termasuk di dalamnya pola pemilihan dan pengoranisasian tema-tema pembelajaran yang dinilai lebih esensial dan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan dalam masyarakat.

     Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS tampaknya telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni Pertemuan HISPIPSI pertama tahun 1989 di Bandung, Forum Komunikasi Pimpinan FPIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan tahun 1992. Salah satu marei yang selalu menjadi agenda pembahasan adalah mengenai konsep PIPS. Dalam pertemuan Ujung Pandang tahun 1993, M. Numan Somantri selaku pakar dan Ketua HISPIPSI (Somantri: 1993) kembah menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam Pertemuan Yogyakarta tahun 1991, sebagai berikut:

     “Versi PIPS Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah:

     PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia, yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan”.

     “Versi PIPS Untuk HIPS dan Jurusan Pendidikan IPS-IKIP:

     PIPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologi untuk tujuan pendidikan”.

     Kelihatannya HISPIPSI ingin mencoba menjernihkan pengertian PIPS dengan cara menggunakan label yang sama, yakni PIPS tetapi dengan dua versi pengertian, yakni pengertian PIPS untuk pendidikan persekolahan dan untuk pendidikan tinggi untuk guru IPS di IKIP/STKIP/FKIP. Dari dua versi pengertian itu, yang membedakan adalah dalam format sistem pengetahuannya. Untuk dunia persekolahan merupakan penyederhanaan, atau sama dengan gagasan Wesley (1937) dengan konsep “social sciences simplifield …”, sedang untuk pendidikan guru IPS berupa seleksi. Namun, rasanya perbedaannya tidak begitu jelas, kecuali seperti dikatakan oleh Somantri (1993: 8) dalam tingkat kesukarannya sesuai dengan jenjang pendidikan itu, yakni di dunia persekolahan disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, sedang di perguruan tinggi disesuaikan dengan taraf pendidikan tinggi. Penjelasan ini menurut penulis terkesan bersifat tautologis. Kedua versi pengertian PIPS tersebut masih dipertahankan sampai dalam Petermuan Terbatas HISPISI di Universitas Terbuka Jakarta tahun 1998 (Somantri, 1998 : 5- 6), dan disepakati akan menjadi salah satu esensi dari “position paper” HISPIPSI tentang Disiplin PIPS yang akan diajukan kepada LIPI.

     Jika dilihat dari pokok- pokok pikiran yang diajukan oleh Numan Soemantri selaku ketua HISPIPSI ( Somantri: 1998) Position Paper itu akan menyajikan penegasan mengenai kedudukan PIPS sebagai synthetic discipline atau menurut Hartonian (1992) sebagai integrated system of knowledge. Oleh karena itu, PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS, direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disipln ilmu sehingga menjadi pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial disingkat menjadi PDIPS. Dengan demikian kelihatannya HISPIPSI akan memegang dua konsep, yakni konsep PIPS untuk dunia persekolahan, dan konsep PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS. Yang masih perlu dikembangakan adalah logika internal atau struktur dari kedua sistem pengetahuan tersebut. Dengan demikian masing-masing memiliki jati diri konseptual yang unik dann dapat dipahami lebih jernih.

     Tentang kedudukan PIPS/PDIPS dalam konteks yang lebih luas tampaknya cukup prospektif Misalnya, Dalam (1997) melihat PIPS sebagai upaya strategis pembangunan manusia seutuhnya untuk menghadapi era globalisasi. Sementara itu Tsauri (1997:1) yang mengutip pemikiran Affian ketika mengenang tokoh LIPI Profesor Darwono Prawirohardjo, melihat peranan PIPS dalam perspektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, yang seyogyanya memusatkan perhatian pada upaya pengembangan disiplin yang kuat, ketekunan yang luar biasa, integritas diri yang kukuh, wibawa yang mantap, rasa tanggung jawab yang tinggi, dan pengabdian yang dalam.

     Dilihat dari perkembangan permikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni : Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan pesekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yag pada daarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari limu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.

     PIPS untuk dunia persekolahan terpilah menjadi dua versi atau tradisi akademik pedagogis yakni : pertama, PIPS dalam tradisi “citizenship transmission”  dalam bentuk mata pelajran pendidikan Pancasiala dan Kewarganegaraan dan Sejarah Indonesia; dan kedua PIPS dalam tradisi “social science”  dalam bentuk mata pelajaran IPS Terpadu untuk SD, dan mata pelajaran IPS Terkonfederasi untuk SLTP, dan IPS terpisah-pisah untuk SMU. Kedua tradisi PIPS tersebut terikat oleh suatu visi pengembangan manusia indonesia seutuhnya sebagaimana digariskan dalam GBHN dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

     Perkembangan pemikiran mengenai PIPS ini amat berpengaruh pada pemikiran PDIPS di IKIP/FKIP/STKIP.

     Dalam konteks perkembangan pendidikan “social studies” di Amerika atau “Pendidikan IPS” di Indonesia konsep dan praksis pendidikan demokrasi yang dikemas sebagai “citizenship education” atau “Pendidikan Kewarganegaraan” berkedudukan sebagai salah satu dimensi dari tujuan, konten dan proses social studies atau “pendidikan IPS”, atau dapat juga dikatakan bahwa pendidikan demokrasi merupakan salah satu subsistem dalam sistem pembelajaran “social studies”  atau “Pendidikan IPS”. Walaupun demikian, subsistem pendidikan demokrasi ini sejak awal perkembangannya, seperti di Amerika sudah menunjukkan keunikan dan kemandiriannya sebagai program pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik. Subsistem ini, sejalan dengan perkembangan konsep dan praksisi demokrasi,  terus berkembang sebagai suatu bidang kajian dan program pendidikan yang dikenal dengan citizenship education atau civic education, atau unuk Indonesia dikenal dalam label yang berubah – ubah mulai dari Civics, Kewargaan Negara, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewargenagaraan, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

     Jika dikaji dengan cermat dalam konteks perkembangan social studies ternyata citizenship education yang pada dasarnya berintikan pengembangan warga negara agar mampu hidup secara demokratis merupakan bagian yang sangat penting dalam social studies. Hal itu dapat disimak sejak social studies mulai diwacanakan tahun 1937 oleh Edgar Bruce Wesley, yang definisinya tentang social studies dianggap sebagai pilar epistemologis pertama, sampai dengan munculnya paradigma social studies dari NCSS tahun 1994. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa esensi pendidikan demokrasi sesungguhnya merupakan bagian integral dari “social studies”.

     Bidang kajian dan program pendidikan demokrasi dalam bentuk kemasan “Citizenship education” maupun “Civic Education” atau pendidikan kewarganeraan ini, kini kelihatan semakin banyak dikembangkan baik di negara demokrasi yang sudah maju muupun negara yang sedang merintis atau meningkatkan diri kearah itu. Hal itu sejalan dengan berkembangnya proses demokratisasi yang kini telah menjadi gerakan sosial-politik dan sosial-budaya yang mendunia.

     Menyimak perkembangan “social studies” secara umum dan Pendidikan IPS di Indonesia sampai saaat ini maka perlu adaya reorientasi pendidikan IPS sebagai berikut.

  1. Menegaskan kembali visi pendidikan IPS sebagai program pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan individu siswa sebagai “aktor sosial” yang mampu mengambil keputusan yang bernalar dan sebagai “warga negara yang cerdas, memiliki komitmen, bertanggung jawab, dan partisipatif”.
  2. Menegaskan kembali misi pendidikan IPS untuk memanfaatkan konsep, prinsip dan metode ilmu-ilmu sosial dan bidang keilmuan lain untuk mengembangkan karakter aktor sosial dan warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
  3. Memantapkan kembali tradisi pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan yang diwadahi oleh mata Pelajaran Kewarganegaraan dan sebagai Pendidikan sosial yang diwadahi oleh mata pelajaran IIPS   terpadu dan mata pelajaran ILPS Terpisah.
  4. Menata kembali sarana programatik pendidikan IPS untuk berbagai jenjang pendidikan (Kurikulum, Satuan Pelajaran, dan Buku Teks) sehingga memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan IPS.
  5. Menata kembali sistem pengadaan dan penyegaran guru pendidikan IPS sehingga dapat dihasilkan calon guru pendidikan IPS yang profesional.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

     Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki penaglaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Seperti karya akademis yang dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).

     Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakini dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum 1975 menampilkan empat profil yakni: 1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara; 2) Pendidikan terpadu untuk Sekolah Dasar; 3) Pendidikan IPS terkonvederansi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi, Sejarah, dan Ekonomi Koperasi; dan 4) Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.

     Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: pertama, PIPS untuk dunia persekolah yang pada dasarnya merupakan penyederhanakan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relavan, untuk pendidikan profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.

  1. Saran

      Sebagai calon guru SD yang dicetak sebagai guru kelas (guru semua mata pelajaran, termasuk IPS), seharusnya kita mengetahui hal di atas sebagai pengantar agar memahami lebih jauh dan selanjutnya dapat menjelaskan Konsep Pengajaran IPS sebagai suatu bidang yang memusatkan perhatian pada berbagai masalah konseptual.

DAFTAR PUSTAKA

Ischak, dkk. 2005. Pendidikan IPS di SD. Jakarta: Universitas Terbuka

Muhammad Numan Soemantri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya

Udin S. Winataputra. 2009. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka

DIMENSI DAN STRUKTUR PENDIDIKAN IPS

Standard

DIMENSI DAN STRUKTUR PENDIDIKAN IPS

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pengetahuan Sosial SD

Semester Genap

Dosen Pengampu: Ika Oktavianti, M.Pd

Disusun oleh:

1.     Noviyono Setiyo Budi     (2009-33-066)

2.     Tias Anggraeni                (2009-33-069)

3.     Vivi Rochmawati             (2009-33-083)

4.     Fatimatuz Zahro’             (2009-33-169)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011



BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional adalah kemempuan dalam mengorganisir materi pembelajaran. Untuk melakukan tugas tersebut, guru hendaknya memiliki keterampilan bagaimana merencanakan pembelajaran tersebut sesuai dengan karakteristik bahan materi pembelajaran disamping karakteristik siswa, kondisi lingkungan sekolah dan masyarakat sekitarnya.

Dalam makalah ini diuraikan tentang dimensi dan struktur Pendidikan IPS (PIPS) yang akan menjadi dasar dan sumber pembelajaran khususnya dalam pengorganisasian materi yang diselenggarakan oleh guru. Proses pembelajaran di kelas untuk para siswa hendaknya dapat mengarakan, membimbing, dan mempermudah mereka dalam penguasaan sejumlah konsep dasar sehingga mereka dapat membentukstruktur ilmu pengetahuannya sendiri. Tugas ini sebenaranya tidak mudah mengingat kemampuan sisiwa sekolah memiliki latar belakang kemampuan dan lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, sangat perlu ada upaya pencarian dan penerapan model pembelajaran yang tepat agar proses belajar mengajar lebih berkualitas.

Penguasaan dan pengembangan dimensi dan struktur pembelajaran dalam PIPS sangat penting bagi guru karena siswa sekolah menengah diharapkan telah memiliki kemampuan berfikir abstrak dan parsial atau spesialisasi serta berpikir analitis. Untuk memfasilitasi kebutuhan ini mahasiswa calon guru perlu mempersiapkan model pembelajaran yang tepat yang didukung oleh kemampuan penguasaan terhadap dimensi-dimensi PIPS dan strukturnya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa dan bagaimana dimensi pengetahuan (knowledge) dalam pendidikan IPS?

2.      Apa dan bagaimana dimensi keterampilan (skill) dalam pendidikan IPS?

3.      Apa dan bagaimana dimensi nilai dan sikap (values and attitudes) dalam pendidikan IPS?

4.      Apa yang dimaksud dengan dimensi tindakan (action) dalam pendidikan IPS?

C.     Tujuan

1.      Memahami apa dan bagaimana dimensi pengetahuan (knowledge) dalam pendidikan IPS?

2.      Memahami apa dan bagaimana dimensi keterampilan (skill) dalam pendidikan IPS?

3.      Memahami apa dan bagaimana dimensi nilai dan sikap (values and attitudes) dalam pendidikan IPS?

4.      Memahami apa yang dimaksud dengan dimensi tindakan (action) dalam pendidikan IPS?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Dimensi PIPS

1.      Dimensi Pengetahuan (Knowledge)

Setiap orang memiliki wawsan tentang pengetahuan sosial yang berbeda-beda. Secara konseptual, pengetahuan (knowledge) hendaknya mencakup: (1) Fakta; (2) Konsep; dan (3) generalisasi yang dipahami oleh siswa.

Fakta adalah data yang spesifik tentang peristiwa, objek, orang dan hal-hal yang terjadi (peristiwa). Dalam pembelajaran IPS diharapkan siswa dapat mengenal berbagai jenis fakta khususnya yang terkait dengan kehidupan.

Pada dasarnya fakta yang disajikan untuk para siswa hendaknya disesuaikan dengan usia dan tingkat kemampuan berfikirnya. Secara umum, fakta untuk siswa SD hendaknya berupa peristiwa, objek, dan hal-hal yang bersifat konkret. Oleh karena itu guru perlu mengupayakan agar fakta disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas masing-masing.

Konsep merupakan kata-kata atau frase yang mengelompok, berkatagori, dan memberi arti terhadap kelompok fakta yang berkaitan. Konsep merujuk pada suatu hal atau unsur kolektif yang diberi label. Namun konsep akan selalu direvisi disesuaikan dengan konsep menurut disiplin ilmu-ilmu social, sebagai berikut:

tradisi

perubahan

kontinuitas

konflik

kooperasi

nasionalisme

kolonialisme

imperalisme

revolusi

perilaku

kerja kelompok

hubungan antar-kelompok

persepsi

fungsi individu

keragaman

pengembangan

lokasi

pola ruang

jarak

saling

wilayah

distribusi

lingkungan

perubahan

tempat

difusi budaya

budaya

tradisi

keyakinan

akulturasi

kekerabatan

adaptasi

ritual

perubahan

budaya

etnosentris

SEJARAH

PSIKOLOGI

GEOGRAFI

ANTROPOLOGI

PENDIDIKAN IPS

POLITIK

SOSIOLOGI

EKONOMI

pengambilan

keputusan

otoritas

kekuasaan

negara

konflik

keadilan

ham

tanggung jawab

demokrasi

masyarakat

sosialisasi

peran

status

stratifikasi social

norma dan sanksi

nilai

konflik social

mobilitas social

otoritas

produksi

distribusi

spesialisasi

pembagian kerja

konsumsi

kelangkaan

permintaan

penawaran

saling ketergantungan

teknologi

Konsep dasar yang relevan untuk pembelajaran IPS diambil terutama dari disiplin-disiplin ilmu sosial. Banyaknya konsep yang terkait dengan lebih dari satu disiplin, isu-isu sosial, dan tema-tema yang berasal dari banyak dimensi ilmu sosial. Konsep-konsep tersebut tergantung pula pada jenjang dan kelas sekolah.

Konsep yang dibentuk secara multidisiplin berasal dari konsep disiplin tradisional dan menjadi pemerkaya bagi kajian IPS. Konsep-konsep ini muncul karena adanya keperdulian dan persepsi sosial serta munculnya permasalahan social yang semakin kompleks. Hal ini telah dipandang sebagai cara alternatif dalam mengorganisasikan konsep-konsep IPS.

Generalisasi merupakan suatu pernyataan dari dua atau lebih konsep yang saling terkait. Generalisasi memiliki tingkat kompleksitas isi, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa.

Pengembangan konsep dan generalisasi adalah proses mengorganisir dan memaknai sejumlah fakta dan cara hidup bermasyarakat. Merumuskan generalisasi dan mengembangkan konsep merupakan tujuan pembelajaran IPS yang harus dicapai oleh siswa dengan bimbingan guru. Hubungan antara generalisasi dan fakta bersfat dinamis. Memperkenalkan informasi baru yang dapat mendorong siswa untuk merumuskan generalisasi merupakan cara yang baik untuk menkondisikan terjadinya proses belajar bagi siswa. Dengan informasi baru, pada siswa dapat mengubah dan memperbaiki generalisasi yang telah dirumuskan terlebih dahulu.

2.      Dimensi Keterampilan (Skills)

Kecakapan mengolah dan menerapkan informasi merupakan keterampilan yang sangat penting untuk mempersiapkan siswa menjadi warga Negara yang mampu berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat demokratis. Oleh karena itu, berikut uraian sejumlah keterampilan yang diperlukan sehingga menjadi unsure dalam dimensi IPS dalam proses pembelajaran.

a.      Keterampilan Meneliti

Keterampilan ini diperlukan untuk mengumpulkan dan mengolah data. Secara umum penelitian mencapkup sejumlah aktivitas sebagai berikut:

  • Mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah atau isu
  • Mengumpulkan dan mengolah data
  • Menafsirkan data
  • Menganalisis data
  • Menilai bukti-buki yang ditemukan
  • Memyimpulkan
  • Menerapkan hasil temuan dan konteks yang berbeda
  • Membuat pertimbangan nilai

b.      Keterampilan Berpikir

Sejumlah keterampilan berpikir banyak berkontribusi terhadap pemecahan masalah dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat secara efektif. Untuk mengembangkan keterampilan berfikir pada diri siswa, perlu ada pengusaan terhadap bagian-bagian yang lebih khusus dari keterampilan berfikir tersebut serta melatihnya di kelas. Beberapa keterampilan berfikir yang perlu dikembangkan oleh guru di kelas untuk para siswa meliputi:

  • Mengkaji dan menilai data secara kritis
  • Merencanakan
  • Merumuskan faktor sebab dan akibat
  • Memprediksi hasil dari sesuatu kegiatan atau peristiwa
  • Menyarankan apa yang akan ditembulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan
  • Curah pendapat (brainstorming)
  • Berspekulasi tentang masa depan
  • Menyarankan berbagai solusi alternatif
  • Mengajukan pendapat dan perspektif yang berbeda

c.       Keterampilan Partisipasi Sosial

Dalam belajar IPS, siswa perlu dibelajarkan bagaiman berinteraksi dan bekerjasama dengan orang lain. Keahlian bekerja dalam kelompok sangat penting karena dalam kehidupan bermasyarakat begitu banyak orang menggantungkan hidup melalui kelompok. Beberapa keterampilan partisipasi sosial yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi:

  • Mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain
  • Menunjukkan rasa hormat dan perhatian kepada orang lain
  • Berbuat efektif sebagai anggota kelompok
  • Mengambil berbagai peran kelompok
  • Menerima kritik dan saran
  • Menyesuaikan kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan

d.      Keterampilan Berkomunikasi

Pengembangan keterampilan berkomunikasi merupakan aspek yang penting dari pendekatan pembelajaran IPS khususnya dalam inkuiri sosial. Setiap siswa perlu diberi kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman dan perasaannya secara jelas, efektif, dan kreatif. Walaupun bahasa tulis dan lisan telah menjadi alat berkomunikasi yang paling biasa, guru hendaknya selalu mendorong para siswa untuk mengungkapkan gagasannya dalam bentuk lain, seperti dalam film, drama, seni (suara, tari, lukis), pertunjukkan, foto, bahkan dalam bentuk peta. Para siswa hendaknya dimotivasi agar menjadi pembicara dan pendengar yang baik.

3.      Dimensi Nilai dan Sikap (Value and Attitude)

Pada hakekatnya, nilai merupakan sesuatu yang berharga. Nilai yang dimaksud disini adalah seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang ketika berpikir atau bertindak. Umumnya, nilai dipelajari sebagai hasil dari pergaulan atau komunikasi antarindividu dalam kelompok seperti keluarga, himpunan keagamaan, kelompok masyarakat atau persatuan dari orang-orang yang satu tujuan.

Heterogenitas nilai yang ada di masyarakat tentu menimbulkan masalah tersendiri bagi guru dalam pembelajaran IPS di kelas. Di suatu pihak, nilai dapat masuk ke dalam masyarakat dan tidak mungkin steril dari isu-isu yang menerpa dan terhindar dalam masyarakat demokratis. Di pihak lain, tidak dipungkiri bahwa nilai tertentu muncul dengan kekuatan yang sama dalam masyarakat dan menjadi pembelajaran yang baik serta menjadi perlindungan dari berbagai penyimpangan dan pengaruh luar. Agar ada kejelasan dalam mengkaji nilai di masyarakat, maka nilai dapat dibedakan atas nilai sustantif dan nilai prosedural.

a.      Nilai Substantif

Nilai substantif adalah keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau menyampaikan informasi semata. Setiap orang memiliki keyakinan atau pendapat yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya tentang sesuatu hal.

Dalam mempelajari nilai substantif, para siswa perlu memahami proses-proses, lembaga-lembaga, dan aturan-aturan untuk memecahkan konflik dalam masyarakat demokratis. Dengan kata lain, siswa perlu mengetahui ada keragaman nilai dalam masyarakat dan mereka perlu mengetahui isi nilai dan implikasi dari nilai-nilai tersebut.

Manfaat lain dari belajar nilai substantif adalah siswa akan menyatakan bahwa dirinya memiliki nilai tertentu. Guru harus menjelaskan bahwa siswa membawa nilai yang beragam ke kelas sesuai dengan latar keluarga, agama, atau budaya. Selain itu, guru perlu menyadari pula bahwa nilai yang dia anut tidak semuanya berlaku secara universal.

Program pembelajaran IPS hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan, merefleksi, dan mengartikulasikan nilai-nilai yang dianutnya. Proses ini tergantung pada nilai-nilai prosedural di kelas. Siswa hendaknya memiliki hak mengambil posisi nilai mana yang akan dianut tanpa paksaan atau menangguhkan keputusan dan tetap tidak mengambil keputusan. Dengan kata lain, siswa hendaknya didorong untuk bersiap diri membenarkan posisinya, mendengarkan kritikan yang ditujukan terhadap dirinya dan atau mengubah keputusannya bila ada pertimbangan lain.

b.      Nilai Prosedural

Nilai-nilai prosedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara lain nilai kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati kebenaran dan menghargai orang lain. Nilai-nilai kunci ini merupakan nilai yang menyokong masyarakat demokratis, seperti: toleran terhadap pendapat yang berbeda, menghargai bukti yang ada, kerja sama, dan menghormati pribadi orang lain. Apabila kelas IPS dimaksudkan untuk mengembangkan partisipasi siswa secara efektif dan diharapkan semakin memahami kondisi masyarakat Indonesia yang beraneka ragam, maka siswa perlu mengenal dan berlatih menerapkan nila-nilai tersebut.

Pembelajaran yang mengaitkann pendidikan nilai ini secara eksplisit atau implisit hendaknya telah ada dalam langkah-langkah atau proses pembelajaran dan tidaklah menjadi bagian dari konten tersendiri. Dengan kata lain, nilai-nilai ini tidak perlu dibelajarkan secara terpisah. Selain itu, masyarakat demokratis yang ideal harus mampu mengungkapkan nilai-nilai pokok dalam proses pembelajaran bukan hanya retorika semata bahkan harus menghormati harkat dan martabat manusia, berkomitmen terhadap keadilan sosial, dan memperlakukan manusia sama kedudukannya di depan hukum.

4.      Dimensi Tindakan (Action)

Tindakan sosial merupakan dimensi PIPS yang penting karena tindakan dapat memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif. Mereka pula dapat belajar secara konkret dan praktis. Dengan belajar dari apa yang diketahui dan terpikirkan tentang isu-isu sosial untuk dipecahkan sehingga jelas apa yang akan dilakukan dan bagaimana caranya, para siswa belajar menjadi warga Negara yang efektif di masyarakat.

Dimensi tindakan sosial dapat dibelajarkan pada semua jenjang dan semua tingkatan kelas kurikulum IPS. Dimensi tindakan social untuk pembelajaran IPS meliputi tiga model aktivitas sebagai berikut.

  • Percontohan kegiatan dalam memecahkan masalah di kelas seperti cara berorganisasi dan bekerja sama.
  • Berkomunikasi dengan anggota masyarakat dapat diciptakan.
  • Pengambilan keputusan dapat menjadi bagian kegiatan kelas, khususnya pada saat siswa diajak untuk melakukan inkuiri.

B.     Struktur PIPS

Model pembelajaran alternatif untuk bidang ilmu-ilmu sosial telah diperkenalkan dengan aneka ragam istilah diperkenalkan dengan aneka ragam istilah, seperti : Model Inkuiri, Problem Solving, Berpikir Kritis, Pengambilan Keputusan, dan sebagainya. Pada hakekatnya, model-model pembelajaran ini lebih banyak menekankan pada upaya membelajarkan siswa secara aktif (Students’ Active Learning).

Untuk menyajikan materi pembelajaran yang penuh dengan muatan konsep, generalisasi dan teori, Marlin L. Tanck dalam Sapriya (2009) memperkenalkan model pembelajaran konsep, generalisasi dan konstruk yang dikenal dengan “A Model of A knowledge” (Model Struktur ilmu Pengetahuan).

Salah satu pendekatan dalam pembelajaran IPS dan sekaligus menjadi tugas guru pada tingkat pendidikan dasar adalah menerjemahkan materi yang sulit menjadi mudah atau materi pelajaran yang bersifat abstrak menjadi konkret. Suatu upaya untuk menerjemahkan dan mengkonkretkan hal yang abstrak tersebut biasanya diperlukan sesuatu yang berfungsi sebagai wakil atau representasi. Sesuatu yang mewakili inilah yang dikenal dengan sebutan model. Para siswa yang tengah belajar pada jenjang pendidikan menengah , perlu dibimbing dan diperkenalkan kepada atau dilatih kemampuan dalam berpikir abstrak. Dengan kata lain, para guru perlu memperkenalkan pengetahuan abstrak (abstrack knowledge) kepada siswanya. Salah satu cara untuk membantu para siswa dalam memiliki kemampuan ini adalah melalui perantara model.

C.     Model Struktur Pengetahuan

Menurut Tanck pengetahuan (knowledge) dianggap sebagai hasil kerja intelektual yang dikembangkan oleh manusia melalui proses psikologisnya. Hasil-hasil itu dapat digolongkan dalam bentuk/jenis pengetahuan yang berbeda-beda. Jenis pengetahuan dapat dilihat sebagaimana dirancang dalam model struktur atau organisasi pengetahuan.

Model ini berusaha membedakan jenis-jenis pengetahuan yang berbeda-beda dan mengorganisasikannya dalam suatu struktur. Model ini dapat mewakili suatu cara bagaimana pengetahuan yang bersifat abstrak ini dapat digolongkan dan disusun sehingga para guru dapat dengan mudah merancang pengajaran dan para siswa lebih mudah lagi belajar. Model dibawah ini dapat diuji apakah model ini dapat membantu para guru lebih efektif merancang pengajaran aspek pengetahuan pilihan yang bersifat abstrak dan apakah para siswa merasakan terbantu pada waktu belajar menguasai pengetahuan pilihan tersebut.

Model struktur ilmu pengetahuan terdiri atas unsur-unsur yang dapat digambarkan dalam diagram, sebagai berikut :

Construct

Generalization

Concept

Fact and Atribute

Secara lebih rinci unsur-unsuryang ada dalam struktur ilmu pengetahuan diatas dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Atribut

Atribut merupakan karakteristik atau sifat sejumlah benda, peristiwa atau ide yang dapat dibedakan. Atribut-atribut itu misalnya ciri-ciri yang dapat dianggap sama, serupa atau berbeda. Atribut dapat didasarkan pada fakta berupa informasi konkret yang dapat diverifikasi dari laporan orang lain atau hasil pengamatan langsung seseorang. Apakah informasi itu akurat, dapat dibuktikan dengan cara memeriksa kebenaran laporan atau dengan meneliti, mendengarkan, menyentuh, dan merasakan.

Laporan lisan, gambar, dan chart data dapat digunakan untuk mengkomunikasikan atribut-atribut. Penkomunikasian fenomena dan kondisi yang terlihat merupakan proses mempelajari atribut-atribut. Para siswa dapat mempelajari atribut-atribut melalui proses persepsi, yakni memperoleh informasi dari orang lain, atau pengamatan dan pengkajian oleh mereka sendiri.

Atribut dapat diketahui menurut tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Beberapa atribut dapat dengan udah dinyatakan sedangkan yang lainnya mungkin dapat dipahami dan digunakan namun tidak mudah diungkapkan.

2.      Kelas

Kelas adalah pengelompokkan kategori benda-benda, peristiwa atau pemikiran. Setiap kelas meliputi benda-benda yang memiliki kesamaan atribut dan mengabaikan atribut-atribut yang berbeda atau tidak ada kaitannya. Pengkelasan berdasarkan pada satu atau atribut tertentu, tidak pada semua atribut.

Pengkelasan merupakan sesuatu hal yang biasa dan banyak kegunannya. Semua orang yang kita ketahui, kita tempatkan dalam ragam kelas, seperti laki-laki – perempuan, kaya – miskin, bersahabat – bermusuhan. Benda-benda hidup dapat dikelompokkan sebagai berikut: tanaman – hewan, mamalia atau reptil atau burung, binatang buas – binatang piaraan. Kelompok buku-buku dapat dibagi menurut jenisnya, seperti fiksi – nonfiksi, bersamul tebal – bersampul tipis, mudah – sulit. Dengan demikian, kita dapatmengklasifikasikan sesuatu secara praktis menurut pengalaman sesuai dengan atribut-atributnya.

3.      Simbol

Setiap kelas dapat dirujuk dengan suatu symbol. Symbol menunjukkan kelas. Symbol dapat berupa kata-kata, tanda, gerak mimic,nomor angka, atau yang lainnya. Apapun namanya simbol merupakan cara yang bermanfaat untuk mengkomunikasikan tentang kelas. Kelas semua benda yang digunakan dalam produksi mungkin cocok disebut “sumber-sumber produksi” atau “faktor-faktor produksi”. Benda-benda seperti tanah dan pohon dapat dirujuk sebagai sumber alam. Kelas benda-benda buatan manusia yang digunakan untuk memproduksi dapat dinamakan “modal”. Kelompok orang yang bekerja untuk menghasilkan sesuatu barang dapat disebut “tenaga kerja” (buruh) atau “sumber daya manusia”.

. modal

Gambar. Kelas dan subkelas

Gambar di atas menunjukkan adanya saling hubungan antar kelas. Lingkaran besar adalah gambar tentang factor-faktor produksi yang mewakili semua benda yang digunakan dalam memproduksi barang dan jasa . lingkaran kecil (1, 2, 3) mewakili subkelas dari setiap factor produksi.

4.      Konsep

Konsep merupakan pokok pengertian yang bersifat abstrak yang menghubungkan orang dengan kelompok benda, peristiwa, atau pemikiran (ide). Lahirnya konsep karena adanya kesadaran atas atribut kelas yang ditunjukkan oleh simbol. Konsep  “tanah” bagi siswa merupakan sebutan umum untuk sumber alam yang produktif. Konsep buruh menurut siswa merupakan sebutan abstrak tentang apa yang dimiliki oleh semua anggota kelas/kelompok.

Konsep bersifat abstrak dalam pengertian yang berkaitan bukan dengan contoh tertentu melainkan dengan semua anggota kelas. Konsep dapat dianggap sebagai suatu model kelompok benda yang terpikirkan. Konsep merupakan cara berpikir menggenerelasasikan sejumlah anggota kelas yang khusus ke dalam satu contoh model yang tidak nampak, termasuk atribut semua contoh yang berbeda-beda.

Konsep bersifat subyektif dan menyatu. Semua orang membentuk konsep dari pengalamannya sendiri. Dari pengalaman seperti mencatat contoh-contoh dan mendengarkan diskusi yang melibatkan kelas, setiap orang menjadi sadar akan pengertian dan atribut.

Konsep merupakan kesadaran internal yang mempengaruhi perilaku yang tampak. Konsep-konsep yang digunakan dalam proses pembelajaran dapat diperoleh dari konsep disiplin ilmu atau dari konsep yang telah biasa digunakan dilingkungan kehidupan siswa atau masyarakat setempat. Berikut ini adalah matrik yang dapat dijadikan model oleh guru dalam proses pembelajaran.

 

Jenis perilaku yang menunjukkan pengetahuan tentang konsep Contoh perilaku tentang konsep sumber daya alam, buruh, modal.
PENGELOMPOKAN. Diberikan sejumlah contoh gambar orang yang berpakaian berbeda-beda sesuai dengan profesinya, siswa akan dapat mengidentifikasi contoh gambar dan yang bukan contoh gambardari suatu konsep. Ketika diberikan contoh gambar: dokter, sekretaris, turis, dan bayi, kemudian diajukan pertanyaan, gambar mankah yang termasuk kelompok tenaga kerja, siswa memilih dokter dan sekretaris sebagai profesi tenaga kerja, bukan turis dan bayi.
APLIKASI. Diberikan masalah baru dengan memanfaatkan pengetahuan konsep umum, siswa akan menggunakan konsep untuk memecahkan masalah. Apabila ditanya, apakah perbedaan antara mengolah tanah menggunakan cangkul dan mengolah tanah menggunakan traktor, siswa menjawab bahwa yang pertama banyak memerlukan banyak tenaga kerja manusia sedangkan yang kedua memerlukan banyak modal.
SINTESIS. Diberikan motivasi, siswa akan dapat membuat contoh-contoh konsep yang unik. Apabila diminta pendapat bagaimana cara memanfaatkan rumput laut sebagai bahan makanan tambahan dan mengemukakan apakah sumber alam, tenaga kerja dan modalnya, siswa mungkin menjawab ‘manisan rumput laut” dan rumput laut sebagai sumber alam (bahan mentah), mesin mengolah sebagai modal dan operator mesin sebagai tenaga kerja.

 

5.      Generalisasi

Generalisasi merupakan penekanan suatu hubungan yang terjadi antara atau antarkelas/kelompok. Pengertian yang dimaksud dalam generalisasi dapat disebut preposisi, hipotesis, inferensi, kesimpulan, atau prinsip. Arti generalisasi ini biasanya dikomunikasikan secara verbal dalam suatu pernyataan, seperti “Lembaga-lembaga sosial cenderung ada di lingkungan masyarakat manusia”. Pernyataan ini mengandung simbol untuk membentuk generalisasi.

Hubungan yang ditegaskan dalam bentuk pernyataan, seperti “sumber daya alam, tenaga kerja dan modal digunakan dalam berbagai proses produksi ” merupakan contoh generalisasi. Untuk memahami suatu generalisasi, perhatikanlah beberapa prisipberikut ini:

1.      Generalisasi meliputi hubungan antar dua atau lebih konsep.

2.      Generalisasi bersinggungan dengan kelas/kelompok secara menyeluruh. Secara luas dapat diterapkan terhadap hal-hal yang umum bukan hanya kepada hal-hal yang khusus.

3.      Generlisasi merupakan abstraksi yang tingkatannya lebih tinggi dibanding konsep. Sebagai pengertian dari suatu hubungan abstrak antara konsep-konsep yang abstrak, generalisasi lebih abstrak daripada konsep.

4.      Generalisasi berdasarkan pada inferensi. Generalisasi berasal dari pemikiran bukan dari pengamatan. Kita dapat dengan mudah melihat bahwa sumber daya alam, tenaga kerja, dan modal digunakan dalam pertanian dan perhutanan, namun kita dapat melihat bahwa semuanya dapat digunakan dalam semua proses produksi.

5.      Generalisasi merupakan penegasan yang dapat dianggap sebagai kebenaran dan ketepatan. Apakah generalisasi itu benar dan akurat dapat diuji. Apabila orang setuju dengan konsep-konsep yang digunakan dalam generalisasi bahwa “sumber daya alam, tenaga kerja dan modal digunakan dalam semua proses produksi”, dapat diuji dengan cara membuktikannya melalui proses inkuiri.

6.      Generalisasi bukan pernyataan atau penegasan yang verbalisme melainkan pernyataan yang kebenarannya perlu dibuktikan melalui perilaku yang tampak.

Cara menunjukkan kemampuan siswa memahami generalisasi:

Jenis perilaku tentang generalisasi contoh perilaku
PENGELOMPOKAN. Diberika  kasus-kasus baru, siswa akan dapat mengidentifikasi kasus-kasus yang positif, negatif, dan bukan kasus. Ketika ditanya apakah sumber daya alam, tenaga kerja, dan modal digunakan dalam industri,siswa dapat menjawab “ya” dan mengidentifikasi contoh-contoh sumber daya alam, tenaga kerja dan modal.
APLIKASI. Diberikan masalah baru dengan memanfaatkan pengetahuan konsep umum, siswa akan menggunakan konsep untuk memecahkan masalah. Apabila ditanya, apakah perbedaan antara mengolah tanah dengan menggunakan cangkul dan mengolah tanah dengan menggunakan traktor, siswa mungkin menjawab bahwa yang pertama memerlukan banyak tenaga kerja manusia, sedangkan yang kedua banyak memerlukan banyak modal.
SINTESIS. Diberi motivasi, siswa akan dapat membuat contoh-contoh generalisasi yang unik. Apabila diminta pendapat bagaimana membuat kursi tamu, siswa mungkin memasukkan contoh-contoh sumber daya alam (kayu), tenaga kerj adan modal dalam menggambarkan proses produksi.

Proses pembelajaran dengan teknik pengelompokan, aplikasi, dan sisntesisi merupakan cara menyajikan bahan materi pelajaran untuk melatih kemampuan berpikir siswa dalam mengaitkan satu konsep dengan konsep yang lainnya. Agar siswa mahir dengan kemampuan ini, maka pelatihan dalam pembelajaran perlu dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan karakter materi palajarannya.

BAB III

PENUTUP

A.     Simpulan

Program Pendidikan IPS yang komprehensif adalah program yang mencakup empat dimensi sebagai berikut:

1.       Dimensi pengetahuan (Knowledge); mencakup fakta, konsep dan generalisasi.

2. Dimensi keterampilan (Skills); mencakup keterampilan meneliti, berpikir, partisipasi sosial, dan berkomunikasi.

3.   Dimensi nilai dan sikap (Values and Attitudes); terdiri atas nilai substansif dan nilai prosedural. Nilai substantif adalah keyakinan yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau menyampaikan informasi semata. Nilai-nilai prosedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan antara lain nilai kemerdekaan, toleransi, kejujuran, menghormati kebenaran dan menghargai pendapat orang lain.

4. Dimensi tindakan (Action). merupakan dimensi PIPS yang penting karena tindakan dapat memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif.

2.       Saran

1.      Dalam mengajarkan IPS  pada siswa sangat perlu ada upaya pencarian dan penerapan model pembelajaran yang tepat agar proses belajar mengajar lebih berkualitas.

2.      Mahasiswa calon guru perlu mempersiapkan model pembelajaran yang tepat yang didukung oleh kemampuan penguasaan terhadap dimensi-dimensi PIPS dan strukturnya.

3.      Agar lebih memahami tentang konsep dimensi dan struktur pendidikan IPS hendaknya kita membaca dari berbagai literature yang mendukung atau bertanya pada dosen pembimbing.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Ridwan. 2010. Pengembangan pendidikan IPS SD. Terdapat pada http://pjjpgsd.upi.edu/moodle/forum/1/593/MATERI_WEB.pdf. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2011.

Ipadmanual. 2011. Dimensi-dimensi pendidikan IPS. Terdapat pada http://ipadmanual.co.cc/pdf?dimensi-dimensi-pendidikan-ips. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2011.

Ischak, dkk. 2004. Pendidikan IPS SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Lusmayan, Wayan. 2009. Pendidikan IPS di Sekolah Dasar. Terdapat pada http://lasmawan.wordpress.com/2009/03/23/pendidikan-ips-di-sd/. Diakses pada tanggal 11 maret 2011.

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

UPAYA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN IPS DI INDONESIA

Standard

UPAYA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN IPS

DI INDONESIA

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok

Mata Kuliah Sumber dan Media Pembelajaran

Dosen pengampu : Aisyah Nur S. N., S.Pd.

                             Ika Oktavianti, M.Pd.

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

Disusun Oleh  :

Eko Nur Sulistiyaningsih 2009-33-025

Sekar Andini Budi P.             2009-33-027

        Wynda Septivia                      2009-33-039

  Zulfi Rahmawan                     2009-33-036

KELAS A

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2010/2011

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

   Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era globalisasi saat ini maju dengan pesat. Proses keterhubungan seluruh dunia cepat dan berdampak   luar biasa,   tidak dapat dibendung   yang mempunyai daya mengubah sangat kuat. Kompleksitas permasalahan yang muncul yang harus dihadapi masyarakat menuntut adanya sumber daya manusia yang handal,lebih-lebih dalam menghadapi era globalisasi. Kemajuan di bidang elektronika misalnya televisi berpengaruh besar terhadap kehidupan anak- anak dan hampir setiap rumah mempunyai pesawat televisi.

   Situasi seperti itu, menuntut para guru untuk bekerja lebih keras lagi. Guru harus mencari kiat-kiat atau jurus-jurus baru dan strategi yang tepat, agar proses pembelajaran  lebih menarik  dan berhasil. Dengan kata lain guru harus aktif, banyak ide dan kritis terhadap   situasi  yang   ada. Pemerintah pun berupaya untuk meningkatkan kualitas para siswa  sekolah dasar, khususnya  dalam mata pelajaran  Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Untuk itulah semua tokoh yang berperan dalam pendidikan berupaya melakukan pembaharuan pelajaran IPS agar pendidikan IPS di Indonesia semakin maju. Berhubungan dengan hal tersebut maka penulis akan mengkaji pembaharuan pendidikan IPS di Indonesia.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apa yang disebut dengan Ilmu Pengetahuan Sosial ?
  1. Tujuan apa yang ingin dicapai dalam pendidikan IPS di Indonesia ?
  2. Apa saja perbedaan latar belakang pendidikan IPS di Indonesia dengan Amerika, Inggris dan Australia ?
  3. Bagaimana upaya dan hambatan pembaharuan pendidikan IPS di Indonesia ?
  1. Tujuan Penulisan
  1. Mengetahui pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial.
  2. Mengetahui tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan IPS di Indonesia.
  3. Dapat mengetahui perbedaan latar belakang pendidikan IPS di Indonesia dengan Amerika, Inggris dan Australia.
  4. Mengetahui upaya dan hambatan pembaharuan pendidikan IPS di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial

   Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai mata pelajaran di tingkat sekolah dasar pada hakikatnya merupakan suatu integrasi utuh dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk tujuan pendidikan. Artinya, berbagai tradisi dalam ilmu sosial termasuk konsep, struktur, cara kerja ilmuwan sosial, aspek metode maupun aspek nilai yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial, dikemas secara psikologis, pedagogis, dan sosial-budaya untuk kepentingan pendidikan.

   Terdapat beberapa definisi lain tentang IPS. Richard E. Gross dalam Masruri (2008) menyatakan bahwa IPS adalah dasar pendidikan sosial, dalam mempersiapkan fungsi warga negara dengan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memungkinkan masing-masing warga negara tersebut dapat tumbuh secara personal antara yang satu dengan yang lainnya secara baik, dan dalam berkontribusi pada kebudayaan yang akan datang.

   Muriel Crosby dalam Soemantri (2001) menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang memecahkan masalah- masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya.

   Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan pertama bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan individu baik sebagai warga negara maupun masyarakat. Individu yang diharapkan dalam IPS adalah individu yang saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi yang diharapkan adalah interaksi yang bisa membangun kehidupan yang  lebih baik. Sebab secara sosiologis dan politis, apabila individu-individu tersebut memiliki yang baik, secara otomatis menunjukkan sebagai warga negara yang baik.

   Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji  seperangkat  peristiwa,   fakta,   konsep,   dan  generalisasi  yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang  demokratis, dan bertanggung  jawab, serta warga dunia yang  cinta damai.

  1. Tujuan Pendidikan IPS di Indonesia

   Berdasarkan pada falsafah negara telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional, yaitu:  membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.

   Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitan dengan hal tersebut, kurikulum 2010 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial, bertujuan untuk:

  1. Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
  2. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial.
  3. Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
  4. Meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.

   Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut (Asmawi. 1994) adalah “membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara” Sedangkan Oemar Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu :

    1. Pengetahuan dan pemahaman
    2. Sikap hidup belajar
    3. Nilai-nilai sosial dan sikap
    4. Keterampilan
  1. Perbedaan Latar Belakang Pendidikan IPS Indonesia dengan Amerika, Inggris dan Australia

   Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin.

   Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.

   Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi satu bangsa.

   Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.

   Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah, para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah.

   Sedangkan di Australia latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah karena adanya kesadaran yang semakin meningkat di kalangan penduduk Australia terhadap masalah-masalah ekonomi, poltik, lingkungan, sosial dan masalah-masalah pribadi yang memerlukan adanya kemampuan untuk mengatasinya.

   Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:

  1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
  2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan.
  3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
  4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.
  5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
  1. Upaya Pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia
    1. Pembaharuan kurikulum

   Istilah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dalam sistem pendidikan di Indonesia baru dikenal sejak lahirnya Kurikulum tahun 1975. Sebelumnya, pembelajaran ilmu-ilmu sosial untuk tingkat persekolahan mneggunakan istilah yang berubah-ubah sesuai dengan situasi politik pada masa itu. Pembaharuan kurikulum IPS di Indonesia diantaranya :

    • Kurikulum 1964 menggunakan istilah Pendidikan Kemasyarakatan. Ada dua kelompok mata pelajaran, ialah kelompok dasar yang terdirir atas Sejarah Indonesia dan Geografi Indonesia, Bahasa Indonesia dan Civics dan kelompok cipta yang terdiri atas Sejarah Dunia dan Geografi Dunia. Dan kemudian digabungkan selanjutnya berubah menjadi Pendidikan Kewargaan Negara  yang merupakan korelasi dari ilmu bumi, sejarah dan pengetahuan kewargaan negara.
    • Pada tahun 1968 terjadi perubahan pengelompokkan mata pelajaran sebagai akibat perubahan orientasi pendidikan. Mata pelajaran di sekolah dibedakan menjadi pendidikan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar dan pembinaan kecakapan khusus.
    • Pada tahun 1975, lahirlah Kurikulum 1975 yang mengelompokkan tiga jenis pendidikan, yakni pendidikan umum, pendidikan akademis dan pendidikan keahlian khusus. Dalam Kurikulum 1975 dikemukakan secara eksplisit istilah mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang merupakan fusi (perpaduan) dari mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi. Selain mata pelajaran IPS, pendidikan kewarganegaraan dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri ialah Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam Kurikulum 1975, IPS termasuk kelompok pendidikan akademis sedangkan PMP termasuk kelompok pendidikan umum. Namun IPS sebagai pendidikan akademis mempunyai misi menyampaikan nilai-nilai berdasarkan filsafat Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian mata pelajaran IPS pun berfungsi dan mendukung tercapainya tujuan PMP.
    • Menjelang adanya perbaikan Kurikulum 1975, tahun 1980 muncul bidang studi PSPB, gagasan dari Mendikbud mata pelajaran ini hampir sejenis dengan IPS Sejarah dan PMP. Upaya perbaikan Kurikulum IPS 1975 (KYD) baru terwujud pada tahun 1984.
    • Kurikulum IPS 1984 pada hakikatnya menyempurnakan atau memperbaiki kelemahan-kelmahan Kurikulum 1975. Ditinjau dari segi pendekatan (metodologi) pembelajaran, Kurikulum IPS 1975 dan 1984 menggunakan pendekatan integrative dan structural untuk IPS SMP dan pendekatan disiplin terpisah (separated disciplinary approach) untuk SMA. Sedangkan pendekatan untuk IPS Sekolah Dasar (SD) lebih mirip menggunakan integrative (integrated approach).
    • Pada tahun 1994, terjadi lagi perubahan kurikulum IPS. Dalam Kurikulum 1994 dinyatakan bahwa IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah. Untuk IPS SD, bahan kajian pokok dibedakan atas dua bagian, ialah pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial meliputi lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah mencakup perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lampau hingga kini. Ada perbedaan yang cukup menonjol dalam Kurikulum IPS Sekolah Dasar 1994 dibandingkan dengan Kurikulum IPS sebelumnya, yakni dalam metode dan penilaian. Kurikulum IPS 1994 hanya memberikan anjuran umum bahwa pelaksanaan proses belajar mengajar hendaknya para guru menerapkan prinsip belajar aktif. Dari bunyi rambu-rambu yang terakhir ini, menunjukkkan bahwa Kurikulum IPS 1994 memberikan keleluasaan atau kekuasaan otonom yang cukup besar terhadap guru.
    • Memasuki Abad 21 yang ditandai oleh perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan khususnya perubahan dalam bidang politik, hukum, dan kondisi ekonomi telah menimbulkan perubahan ekonomi yang sangat signifikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 disahkanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang tersebut telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap perubahan sistem kurikulum di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat
    • Ketentuan tentang implikasi dari peraturan perundangan tersebut adalah dikeluarkannya kebijakan tentang Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) beserta pedomannya dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dengan panduan KTSP yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa, maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama  yaitu membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS.
  1. Pembaharuan KBM

   IPS merupakan seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi  yang berkaitan dnegan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang.

   Ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:

  1. Guru IPS harus menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning.   Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai satu-satunya sumber informasi,  melainkan akan membawa siswa untuk berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment) baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social  (social skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
  2. Strategi serta pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh, mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi, menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka terima.  Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan mengevaluasi informasi yang diterima.
  3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan dari strategi ini, yaitu:
    1. Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
    1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang bermakna bagi mereka secara pribadi.
    2. Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.

Supardi (2008) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:

  1. Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan, kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah atau di luar sekolah.
  2. Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan penting yang terdapat dalam topik-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi dan aplikasi siswa.
  3. Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan aktif.
  4. Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
  5. Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
  6. Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.
  1. Hambatan Pembaharuan Pendidikan IPS di Indonesia

   Namun tugas besar dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan. Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:

  1. Sebagian besar guru IPS belum terampil menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar siswa.
  2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS.
  3. Proses belajar mengajar IPS masih dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
  4. Dalam hal implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.

BAB III

PENUTUP

  1. Simpulan

    IPS merupakan bidang studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan baru karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia. Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya.

    Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI

    Untuk mengenal masyarakat siswa dapat belajar melalui pendidikan di sekolah maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.

  1. Saran

    Sebaiknya sebelum mengajarkan materi IPS, guru hendaknya merancang dan menyusun terlebih dahulu strategi, model dan media pembelajaran yang sesuai dengan materi, menyenangkan bagi anak SD dan berhubungan dengan kehidupan nyata anak SD sehingga pembelajaran akan lebih mudah dipahami dan direalisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Asmawi, Z. dan Nasution, N. 1994. Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Hamalik.,Oemar. 1992. Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Mandar Maju.

Soemantri, N. 2001.  Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Rosda

Karya.

Supardi. Permasalahan Kurikulum PIPS pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

          dalam: http://pard174.multiply.com/video/item/1 (3 Desember 2008).

VISI DAN MISI PENDIDIKAN

Standard

VISI DAN MISI PENDIDIKAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sisitematika Pendidikan

Dosen pengampu :

1. Aisyah Nur Sayidatun Nisa, S.Pd

2. Ika Oktavianti, S. Pd, M. Pd

Disusun oleh kelompok 8:

        1. Diah Ratnawati (2009-33-079)
        2. Dian Uswatun H. (2009-33-105)
        3. Nur Puji Hastuti (2009-33-110)
        4. Fira Musfirah  (2009-33-159)

Kelas    : B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SD

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

BAB I

PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

              Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Di manapun di dunia ini terdapat masyarakat manusia, dan disana pula terjadi pendidikan. Walaupun pendidikan meruapakan gejala umum dalam kehidupan masyarakat, namun perbedaan pandangan hidup, perbedaan falsafah hidup yang dianut oleh masing-masing bangsa atau masyarakat menyebabkan adanya perbedaan penyelenggaraan termasuk perbedaan tujuan pendidikan yang ingin dicapai suatu bangsa atau masyarakat. Kegiatan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari yang hendak dicapainya.

               Tujuan pendidikan memiliki kedudukan yang menentukan dalam kegiatan pendidikan. Tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yatu : memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

            Pendidikan memang merupakan kegiatan manusia, namun bukan suatu kegiatan yang tanpa batas. Banyak hal-hal yang membatasi pelaksanaan pendidikan, diantaranya tujuan pendidikan yang menjadi arah yang harus dicapai oleh pendidikan. Berbicara tentang tujuan pendidikan, maka seharusnya kita sebagai guru mampu mengetahui dan mengaplikasikan visi, misi, tujuan dan asas-asas pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah.  

    1. Rumusan Masalah

      Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:

    1. Apa visi dan misi pendidikan itu?
    2. Apa saja dasar pendidikan itu?
    3. Apa saja tujuan pendidikan itu?
    4. Apa saja azas-azas pendidikan itu?
    1. Tujuan

      Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dikemukakan tujuan sebagai berikut :

    1. Dapat mengetahui visi dan misi pendidikan
    2. Dapat mengetahui dasar pendidikan
    3. Dapat mengetahui tujuan pendidikan
    4. Dapat mengetahui azas-azas pendidikan

                                                                                                                                                                                                       BAB II

PEMBAHASAN                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         

2.1. Visi Pendidikan

         Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan. Sedangkan pendidikan dapat diartikan sebagai suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik.

         Pendidikan mempunyai visi yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

         Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogyanya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI.

    1. Misi Pendidikan

         Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan Visi.

         Dalam rangka mewujudkan Visi Pendidikan Nasional dan sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi Pendidikan Nasional adalah:

  1. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
  2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
  3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;
  4. meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global;
  5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.

2.3. Dasar Pendidikan

        Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah, sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Dasar atau landasan pendidikan dapat dilihat dari berbagai segi yaitu :

  1. Pandangan Islam
    1. Al-qur’an.

      Al-qur’an merupakan pedoman tertinggi yang manjadi petunjuk dan dasar kita hidup di dunia. Dalam Al-qur’an kita bisa menemukan semua permasalahan hidup termasuk pendidikan dan ilmu pengetahuan.

    1. Hadist

     Hadist merupan pedoman kita setalah Al-qur’an, dengan demikian hadist juga merupakan dasar atau elemen dalam pendidikan.

  1. Secara Umum
    1. Religius

     Merupaken elemen atau dasar pendidikan yang paling pokok, disini ditanamkan nilai nilai agama islam (iman, akidah dan akhlak)  sebagai suatu pondasi yang kokoh dalam pendidikan.

    1. Ideologis

     Yaitu mengacu kepada ideologi bangsa kita yakni pancasila dan berdasarkan kepada UUD 1945. Dan intinya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

    1. Ekonomis

     Pendidikan bisa dijadikan sebagai suatu langkah untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan keluar dari segala bentuk kebodohan dan kemiskinan.

    1. Politis

   Lebih mengacu kepada suasana politik yang berlansung.

    1. Teknologis

     Dunia telah mengalami eksplosit ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan bisa dikatakan teknologi sangat memiliki peran dalam kemajuan dunia pendidikan.

    1. Psikologis dan Pedagogis

     Tugas pendidikan sekolah yang utama adalah mengajarkan bagaimana cara belajar, mendidik kejiwaan, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak untuk belajar terus-menerus sepanjang hidupnya dan memberikan keterampilan kepada peserta didik, mengembangkan daya adaptasi yang besar dalam diri peserta didik.

    1. Sosial Budaya

     Mengacu kepada hubungan antara individu dengan individu lainnya dalam suatu lingkungan atau masyarakat. Begitu juga hal nya dengan budaya, budaya masyarakat sangat berperan dalam proses pendidikan, karena budaya identik dengan adat dan kebiasaan. Apabila sosial budaya seseorang itu berjalan baik maka pendidikan akan mudah dicapai.

2.4. Tujuan Pendidikan

        Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia indonesia.  Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.

   A. Tujuan Pendidikan Dalam Islam

      Tujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk:

  • Pembinaan Akhlak
  • Penguasaan Ilmu
  • Keterampilan bekerja dalam masyarakat
  • Mengembangkan akal dan Akhlak
  • Pengajaran Kebudayaan
  • Pembentukan kepribadian
  • Menghambakan diri kepada Allah
  • Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat

B. Tujuan Pendidikan Secara Umum

Tujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:

    1. Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.
    2. Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
    3. TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

   Lavengeld dalam Sadulloh (2006: 75-77) mengemukakan beberapa jenis tujuan pendidikan, yaitu :

  1. Tujuan Umum

      Tujuan umum merupakan sesuatu yang akhirnya akan dicapai oleh pendidikan.kedewasaan merupakan tujuan pendidikan. Maka berarti semua aktivitas pendidikan harus diarahkan kesana untuk mencapai tujuan umum tersebut. Semua manusia di dunia ini ingin mencapai tuajuan itu, yaitu manusia dewasa. Jadi, jelasnya bahwa yang menjadi tujuan umum pendidikan adalah kedewasaan.

  1. Tujuan Khusus

      Tujuan khusus diartikan sebagai suatu pengkhususan dari tujuan umum. Seperti disebutkan bahwa tujuan umum kedewasaan adalah universal. Manusia dewasa yang universal itu diberi bentuk yang nyata berhubung dengan kebangsaan, kebudayaan, agama, system politik, dan sebagainya. Demikianlah manusia dewasa di Indonesia memiliki ciri khas sesuai falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

      Dalam usaha membantu anak menjadi dewasa, selalu harus diperhitungkan keadaan-keadaan yang khas, yang khusus dalam situasi pendidikan yang berlangsung. Beberapa faktor yang harus di perhatikan dalam menentukan tujuan khusus ini diantaranya ialah :

    1. Jenis kelamin anak didik.
    2. pembawaan anak didik.
    3. usia atau taraf perkembangan anak didik.
    4. Tugas lembaga yang mendidik anak seperti keluarga, sekolah, masyarakat, masjid dan sebagainya.
    5. Falsafah Negara.
    6. Kesanggupan pendidik.
  1. Tujuan Insidental

      Tujuan insidental ialah tujuan yang menyangkut suatu peristiwa khusus. Boleh dikatakan sukar mencari hubungan antara tujuan insidental dengan tujuan umum, namun sebenarnya tujuan incidental tersebut terarah pada pencapaian tujuan umum. Contoh ibu melarang anaknya bermain pintu terbuka, karena dapat menyebabkan kecelakaan terjepit pintu misalnya, atau karena pintu merupakan arah masuknya angin, atau menganggu lalu lintas orang yang lewat di pintu. Jelaslah tujuan insidental sangat jauh dari tujuan umum pendidikan yaitu kedewasaan.

  1. Tujuan Sementara

      Tujuan sementara ialah tujuan yang terdapat pada langkah-langkah untuk mencapai tujuan umum. Karena itu tujuan sementara lebih dekat kepada tujuan umum dibandingkan dengan tujuan incidental seperti yang di jelaskan di atas. Tujuan sementara merupakan titik perhatian sementara, yang merupakan persiapan untuk menuju tujan umum. Tujuan sementara memberi kesempatan kepada pendidik untuk menguji nilai yang dicapainya dengan perbuatan nyata.

      Dari kenyataan yang dialaminya diharapkan anak akan mngetahui kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya tujuan agar anak biasa bersih, setelah ia mengalaminya berulang-ulang berbagai tingkat dan jenis kebersihan, maka ia diharapkan kelak mengerti dan biasa hidup bersih. Kita membiasakan anak suka bersih, tidak buang air kecil di sembarang tempat, membiasakan anak berbicara sopan, melatih anak mengerjakan sesuatu yang bermanfaat dan sebagainya. Biasanya anak didik tidak menyadari tujuan insidental dan tujuan sementara itu.

  1. Tujuan Tak Lengkap

      Tujuan tak lengkap ialah tujuan yang berkenaan dengan salah satu aspek pendidikan. Disebut tidak lengkap karena setiap tujuan yang dihubungkan dengan lah satu aspek pendidikan berarti tidak lengkap. Perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mementingkan hanya salah satu aspek saja, sehingga mengabaikan aspek yang lainnya. Aspek-aspek tujuan tak lengkap misalnya: Pendidikan Jasmani, pendidikan social, pendidikan kesusilaan, pendidikan estetis dan sebgainya. Contoh lain dari tujuan pendidikan tak lengkap misalnya kita hanya mengutamakan ranah pengetahuan saja, tanpa secara terpadu mengambangkan ranah afektif dan psikomotor.

  1. Tujuan Perantara(intermedier)

      Tujuan perantara ialah tujauan yang melayani tujuan pedidikan yang lain merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan yang lain khusunya tujuan sementara. Misalnya anak dapat menulis merupakan pencapaian tujuan sementara, sedangkan anak menguasai teknik menulis seperti cara memegang pensil, bagaimana menulis huruf-hurufnya hal itu merupakan tujuan intermedier.

2.5. Azas-Azas Pendidikan

      Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Diantara  asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar.

1.   Asas Tut Wuri Handayani

      Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso.

      Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:

      • Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh).
    • Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat).
    • Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan).

      Maksud asas tut wuri handayani adalah sebagai pendidik hendaknya mampu menyalurkan dan mengarahkan perilaku dan segala tindakan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang dirancang.

      Dalam KTSP, guru bukan lagi sekedar “penceramah” melainkan pemberi dorongan, pengawas, dan pengarah kinerja para peserta didik. Dengan sistem kurikulum yang terbaru ini, para pendidik (guru) diharapkan mampu melejitkan semangat atau motivasi peserta didiknya. Hal ini lantaran proses pengajaran dan pembelajaran hanya akan berjalan lancar, efektif dan efisien manakala ada semangat yang kuat dari para peserta didik untuk mengembangkan dirinya melalui pendidikan. Maka bukan tidak mungkin, jika KTSP juga merupakan wujud manifestasi dari asas pendidikan Indonesia “Kemandirian dalam Belajar.”

      2.    Asas Belajar Sepanjang Hayat

      Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Konsep belajar sepanjang hayat sendiri telah didefinisikan dengan sangat baik oleh UNESCO Institute for Education, lembaga di bawah naungan PBB yang terkonsentrasi dengan urusan pendidikan. Belajar sepanjang hayat merupakan pendidikan yang harus (1) meliputi seluruh hidup setiap individu, (2) mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis, (3) tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap indiviu, dan (5) mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi (Cropley, 1970: 2-3, Sulo Lipu La Sulo, 1990: 25-26, dalam Tirtarahardja, 1994: 121). 

       Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.

    1. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
    2. Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.

      Jika diterapkan dalam sistem pendidikan yang berlaku saat ini, maka pendekatan yang sangat mungkin digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah melalui pendekatan “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual.” Sedang dalam konteks pendidikan di Indonesia, konsep “Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual” sedikit banyak telah termanifestasi ke dalam sistem Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Selain KTSP – yang notabene merupakan bagian dari pendidikan formal, maka Asas Belajar sepanjang Hayat juga termanifestasi dalam program pendidikan non-formal, seperti program pemberantasa buta aksara untuk warga Indonesia yang telah berusia lanjut, dan juga program pendidikan informal, seperti hubungan sosial dalam masyarakat dan keluarga tentunya. 

3.    Asas Kemandirian dalam Belajar

      Keberadaan Asas Kemandirian dalam Belajar memang satu jalur dengan apa yang menjadi agenda besar dari Asas Tut Wuri Handayani, yakni memberikan para peserta didik kesempatan untuk “berjalan sendiri.” Inti dari istilah “berjalan sendiri” tentunya sama dengan konsep dari “mandiri” yang dalam Asas Kemandirian dalam Belajar bermakna “menghindari campur tangan guru namun (guru juga harus) selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan” (Tirtarahardja, 1994: 123). 

      Kurikulum KTSP tentunya sangat membantu dalam agenda mewujudkan Asas Kemandirian dalam Belajar. Prof. Dr. Umar Tirtarahardja (1994) lebih lanjut mengemukakan bahwa dalam Asas Kemandirian dalam Belajar, guru tidak hanya sebagai pemberi dorongan, namun juga fasilitator, penyampai informasi, dan organisator (Tirtarahardja, 1994: 123). Oleh karena itu, wujud manifestasi Asas Kemandirian dalam Belajar bukan hanya dalam berbentuk kurikulum KTSP, namun juga dalam bentuk ko-kurikuler dan ekstra kurikuler – sedang dalam lingkup perguruan tinggi terwujud dalam kegiatan tatap muka dan kegiatan terstruktur dan mandiri. 

      Dalam bukunya “Contextual Teaching and Learning” Elanie B. Johnson (2009) berpendapat bahwa dalam Pembelajaran Mandiri, seorang guru yang berfaham “Pembalajaran dan Pengajaran Kontekstual” dituntut untuk mampu menjadi mentor dan guru ‘privat’ (Johnson, 2009: 177). Sebagai mentor, guru yang hendak mewujudkan kemandirian peserta didik diharapkan mampu memberikan pengalaman yang membantu kepada siswa mandiri untuk menemukan cara menghubungkan sekolah dengan pengalaman dan pengetahuan mereka sebelumnya. Sebagai seorang guru ‘privat,’ seorang guru biasanya akan memantau siswa dalam belajar dan sesekali menyela proses belajar mereka untuk membenarkan, menuntun, dan member instruksi mendalam (Johnson, 2009).

      Lebih lanjut Johnson mengungkapkan bahwa kelak jika proses belajar mandiri berjalan dengan baik, maka para peserta didik akan mampu membuat pilihan-pilihan positif tentang bagaimana mereka akan mengatasi kegelisahan dan kekacauan dalam kehidupan sehari-hari (Johnson, 2009: 179). Dengan kata lain, proses belajar mandiri atau Asas Kemandirian dalam Belajar akan mampu menggiring manusia untuk tetap “Belajar sepanjang Hayatnya.”

      Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalamperan utama sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).

BAB III

PENUTUP

    1. Simpulan

     Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu metode untuk mengembangkan keterampilan, kebiasaan dan sikap-sikap yang diharapkan dapat membuat seseorang menjadi lebih baik. Pendidikan mempunyai visi yaitu terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sedangkan misi dari pendidikan salah satunya adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia

   Dasar pendidikan menurut islam fokus kepada Al-qur’an dan hadist sedang secara umum dasar pendidikan juga lebih menitik beratkan ke dasar religius.

     Tujuan Pendidikan baik secara islam dan umum hampir memiliki kesamaan yaitu mendapatkan kesuksesan. Apabila digabungkan maka tujuan pendidikan adalah upaya untuk meraih kesuksesan hidup di dunia dan akherat.

      Asas dari pendidikan adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar.

    1. Saran

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap visi, misi, dasar, tujuan dan azas-azas pendidikan secara mendalam baik secara islam maupun secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusumo, Kunaryo dkk. 1995. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP SEMARANG PRESS.

http://bukittingginews.com/2010/10/makalah-dasar-dan-tujuan-pendidikan/.

      Diunduh pada tanggal 11 Oktober 2010.

http://os2kangkung.blogspot.com/2010/05/visi-dan-misi-pendidikan nasional.html. Diunduh pada tanggal 2 Mei 2010.

Johnson, Elanie B. PH. D., (2009): Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Media Utama

Munib, Achmad. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : UPT UNNES PRESS.

Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Uyoh Sadulloh. Dkk 2010. Pedagogik. Bahan Belajar Mandiri. Bandung: UPPI PRESS.

KONSEP DASAR IPS DAN ILMU-ILMU SOSIAL DALAM PEMBELAJARAN

Standard

KONSEP DASAR IPS DAN ILMU – ILMU SOSIAL DALAM PEMBELAJARANNYA

 

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pendidikan IPS SD

Dosen Pengampu : Ika Oktavianti, M. Pd

 

 

Disusun Oleh:

1.      Sony Dhirta Pratama                            (2009-33-092)

2.      Dyah Luthfi Anggraeni                      (2009-33-115)

3.      Ardiani Rizka U. F                                  (2009-33-117)

4.      Nurmalita                                                    (2009-33- 140)

 

 

 

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1              Latar Belakang

Sehubungan dengan esensi IPS pada jenjang sekolah dasar, bila kita simpulkan antara tujuan pendidikan nasional pada jenjang pendidikan dasar dengan tujuan IPS di sekolah dasar, maka IPS memberikan sejumlah nilai lebih terhadap ketercapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Memberikan perbekalan pengetahuan tentang manusia dan seluk beluk kehidupannya dalam astagatra kehidupan (ipoleksosbud hankam dan agama serta lingkungan dimana manusia tinggal yaitu sebagai insan mandiri, keluarga dan masyarakat serta bangsa dan negara, (2) Membina kesadaran, keyakinan dan sikap akan pentingnya hidup bermasyarakat dengan penuh rasa kebersamaan, bertanggung jawab dan manusiawi (menghargai derajat-martabat sesama, penuh kecintaan dan rasa kekeluargaan), (3) Membina keterampilan hidup bermasyarakat dalam negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila, (4) Menunjang terpenuhinya bekal kemampuan dasar dari peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota ummat manusia, dan (5) Membina perbekalan dan kesiapan untuk belajar lebih lanjut dan atau melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi (Hasan, 2004).

Mempelajari Konsep dasar IPS berisi tentang pengertian, latar belakang, rasionalisme, hubungan dengan mata pelajaran lainnya, tujuan, dan ruang lingkup IPS SD. Dengan mempelajari materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan dapat menjelaskan konsep-konsep IPS yang berpengaruh terhadap kehidupan masa kini dan masa yang akan datang secara kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini menerapkan pendekatan antar disiplin yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial.

1.2              Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.

1.      Bagaimana konsep dasar IPS?

2.      Bagaimana hubungan IPS dengan mata pelajaran lainnya?

3.      Apakah tujuan pendidikan IPS itu?

4.      Jelaskan ruang lingkup pendidikan IPS sebagai program pendidikan?

1.3              Tujuan Penulisan

            Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut.

1.      Mengetahui konsep dasar IPS.

2.      Mengetahui hubungan IPS dengan mata pelajaran lainnya.

3.      Mengetahui tujuan pendidikan IPS itu.

4.      Menjelaskan ruang lingkup pendidikan IPS sebagai program pendidikan.

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1           Konsep Pendidikan IPS

2.1.1        Pengertian IPS

Rumusan tentang pengertian IPS telah banyak dikemukakan oleh para ahli IPS atau social studies. Berikut pengertian IPS yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan IPS di Indonesia.

a.    Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS adalah perwujudan dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial. IPS  merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi, antropologi, budaya, psikologi, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik dan ekologi manusia, yang diformulasikan untuk tujuan instruksional dengan materi dan tujuan yang disederhanakan agar mudah dipelajari.

b.   Nu’man Soemantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti: a) menurunkan tingkat kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di universitas menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berfikir siswa sekolah dasar dan lanjutan, b) mempertautkan dan memadukan bahan aneka cabang ilmu-ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi pelajaran yang mudah dicerna.

c.    S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi sosial.

Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS yang
dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala, dan masalah sosial masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar sekolah atau siswa atau dalam lingkungan yang luas, yaitu lingkungan negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau. Dengan demikian siswa yang mempelajari IPS dapat menghayati masa sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat manusia.

2.1.2        Latar Belakang IPS

Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

a.    Ilmu Sosial (Sicial Science)

Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.

Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.

Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.

b.   Studi Sosial (Social Studies).

Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar dan dapat berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin ilmu sosial.

c.    Pengetahuan Sosial (IPS)

Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.

Tekanan yang dipelajari IPS berkenaan dengan gejala dan masalah kehidupan masyarakat bukan pada teori dan keilmuannya, melainkan pada kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Dari kerangka dan masalah sosial, ditelaah, dianalisis faktor-faktornya, sehingga dapat dirumuskan jalan pemecahannya.

Berdasarkan kerangka tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah social di masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan

Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia karena pertumbuhan IPS di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:

1.         Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.

2.         Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan

3.         Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.

4.         Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan dana.

5.         Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi kepentingan pembangunan nasional

2.1.3        Rasional Pendidikan IPS

Rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa dapat:

1.      Mensistimasikan pengetahuan dan kemampuannya, agar lebih bermakna.

2.      Lebih peka dan tanggap terhadap masalah sosial sekitarnya secara rasional & bertanggung jawab.

3.      Mempertinggi rasa toleransi dan persaudaraan di lingkungan masyarakatnya.

Munculnya rasional pendidikan IPS adalah sebagai berikut:

1.      Karena siswa berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda

2.      Masalah sosial sangat luas, kompleks, rumit, dan abstrak.

3.      Dengan pendidikan IPS, siswa bisa dibimbing dan diarahkan untuk menghadapi masalah sosial disekitarnya.

2.2              Hubungan IPS dengan Mata Pelajaran Lainnya

2.2.1        Hubungan IPS dengan Mapel  Agama

Kesadaran akan adanya keterbatasan dari diri manusia telah ada sejak manusia itu ada. Keterbatasan akan memahami kejadian alam seperti gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya. Keterbatasan manusia memahami peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari seperti kelahiran, kematian,sakit dan mimpi. Kesadaran ini menyadarkan manusia akan adanya kekuatan diluar dari dirinya yang tidak tampak  dan diluar jangkauan pikirannya yaitu disebut kekuatan supranatural.

Dari adanya kesadaran akan kekuatan supranatural itulah lahir sistem kepercayaan. Seperti kepercayaan pada roh nenek moyang (animisme), kepercayaan pada kekuatan alam (dinamisme),  kepercayaan yang menganggap suci binatang tertentu (totemisme), pemujaan kepada pelaksanaan upacara (shamanisme), percaya pada dewa-dewa (politheisme), dan sebagainya.

2.2.2        Hubungan IPS dengan Bahasa Indonesia

Bahasa mencerminkan kepribadian individu dan kebudayaan masyaraktnya, dan pada gilirannya bahasa turut membentuk kepribadian dan kebudayaan. Hubungan antara bahasa seorang individu dan kepribadiannya, seperti juga halnya hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Cara berbicara seseorang mencerminkan kepribadiannya, gaya kognitifnya dan disposisi kepribadiannya.Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

2.2.3        Hubungan IPS dengan Pendidikan Kewarganegaraan

Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai dan kebudayaan masyarakat serta menjadi warga negara yang baik. Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya dan mengembangkan kemampuan siswa  menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.

2.3              Tujuan Pendidikan IPS

Menurut KTSP 2006:

·        Agar siswa memiliki kemampuan mengenal konsep-konsep yang berkaitan dg kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

·        Memiliki kemampuan dasar berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial dalam kehidupan sosial.

·        Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

·        Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dlm masyarakat majemuk, di tingkal lokal, nasional dan global.

Berdasarkan pada falsafah pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang termaksuk dalam UUD 1945. Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan dihadapi anak. Berkaitaan dengan hal tersebut, kurikulum 2004 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial (sebutan IPS dalam kurikulum 2004), bertujuan untuk:

  • mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
  • mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial
  • membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
  • meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.

Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut Nursid Sumaatmadja adalah “membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara” Sedangkan secara rinci Oemar Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para siswa, yaitu :

1.      pengetahuan dan pemahaman,

2.      sikap hidup belajar,

3.      nilai-nilai sosial dan sikap, dan

4.      keterampilan.

Tujuan utama ilmu pengetahuan sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran ips di sekolah di organisasikan secara baik.

Dari rumusan tujuan tersebut dapat di rinci sebagai berikut (Awan Mutakin, dalam puskur, 2006: 4).

a)      Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.

b)      Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang di adaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat di gunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.

c)      Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.

d)      Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.

e)      Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.

f)        Memotivasi seseorang bertidak berdasarkan moral.

g)      Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.

h)      Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya dan mengembangkan kemampuan siswa menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang di hadapinya.

i)        Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan siswa terhadap materi pembelajaran ips yang di berikan.

2.4           Ruang Lingkup Pendidikan IPS

Secara mendasar, pembelajaran IPS berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS berkenaan dengan cara manusia memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan untuk memenuhi materi, budaya, dan kejiwaannya, memamfaatkan sumber-daya yang ada dipermukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya maupun kebutuhan lainnya dalam rangka mempertahankan kehidupan masyarakat manusia.

IPS mempelajari menelaah, dan mengkaji sistem kehidupan manusia di permukaan bumi ini dalam konteks sosialnya atau manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan pertimbangan bahwa manusia dalam konteks sosial demikian luas, pengajaran IPS pada jenjang pendidikan harus dibatasi sesuai dengan kemampuan peserta didik tiap jenjang, sehingga ruang lingkup pengajaran IPS pada jenjang pendidikan dasar berbeda dengan jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

Pada jenjang  pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah.Terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada di lingkungan sekitar peserta didik MI/SD. Pada jenjang pendidikan menengah, ruang lingkup kajian diperluas. Begitu juga pada jenjang pendidikan tinggi meliputi bobot dan keluasan materi dan kajian semakin dipertajam dengan berbagai pendekatan. Pendekatan interdisipliner atau multidisipliner dan pendekatan sistem menjadi pilihan yang tepat untuk diterapkan karena IPS pada jenjang pendidikan tinggi menjadi sarana melatih daya pikir dan daya nalar mahasiswa secara berkesinambungan.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa yang dipelajari IPS adalah manusia sebagai anggota masyarakat dalam konteks sosialnya, ruang lingkup kajian IPS meliputi :

a.        Substansi materi ilmu-ilmu sosial yang bersentuhan deterngan masyarakat

b.      Gejala, masalah, dan peristiwa sosial tentangkehidupan masyarakat.

Kedua kajian ruang lingkup pengajaran IPS ini harus diajarkan pada setiap jenjang di SD, SMP maupun di SMA.

Secara terpadu karena pengajaran IPS tidak hanya menyajikan materi-materi yang akan memenuhi ingatan peserta didik tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Oleh karena itu, pengajaran IPS harus menggali materi-materi yang bersumber pada masyarakat. Dengan kata lain, pengajaran IPS yang melupakan masyarakat atau yang tidak berpijak pada kenyataan di dalam masyarakat tidak akan mencapai tujuannya.

BAB III

PENUTUP

3.1              Simpulan

IPS merupakan bidang studi yang cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia.

Pendidikan IPS penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya ditengah-tengah msyarakat.

3.2  Saran

Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.

Siswa diharapkan mampu meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.

Daftar Pustaka

Achmad Sanusi, Dt. ( 1971) . Studi Sosial di Indonesia. Bandung: IKIP.

Ade Soetara, “ Makalah IPS  sebagai Program Pendidikanhttp://soetara.blogspot.com/2011/01/makalah-ips-sebagai-program-pendidikan.html  ( diakses tanggal 10 maret 2011)

Hidayati, Mujinem  & Anwar Senen. 2008. Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Lutfiyah, Attikah. “ Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup ISD dan IPShttp://luthfiyyah.blogspot.com/2011/02/pengertian-isd-ilmu-sosial-dasar-isd_18.html ( diakses tanggal 25 April 2005).

Mordianto, G. ( 2003). “ Social science dan Social Studies”. www.kompas.com/kompas-cetak/0305/26/opini /308760.html (Diakses  tanggal 25 April 2005).

Nursyid Sumaatmadja. (2006). Konsep Dasar IPS. Jakarta. UT

Saidihardjo & Sumadi HS. (1996). Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. ( Buku 1 ). Yogyakarta : FIP FKIP