Category Archives: KELAS B

KONSEP DASAR ILMU PENDIDIKAN

Standard

KONSEP DASAR ILMU PENDIDIKAN

 

Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sistematika Pendidikan

Disusun Oleh:

Yeni Purwaningsih (2009-33-067)

Muslifah Handayani (2009-33-073)

Ragil Tri Sujatmiko (2009-33-108)

Anni Nailul Farih (2009-33-112)

Kelas : B

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aktivitas kerja pendidikan hanya dapat dilakukan oleh manusia yang memiliki lapangan dan jangkauan yang sangat luas mencakup semua pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan

Dari interaksi manusia dalam karya pendidikan itu dapat kita amati dengan cermat seperti juga dengan kegiatan manusia yang lainnya seperti kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu kita dapat mempelajari pendidikan secara teoritis melalui perenungan – perenungan yang mendalam yang mencoba melihat makna pendidikan dalam suatu konteks yang lebih luas, maupun dapat juga mempelajari pendidikan secara praktis melalui kegiatan akademis dan empiris yang bersumber dari pengalaman – pengalaman pendidikan. Yang pertama dapat kita sebut teori pendidikan, sedangkan yang kedua kita sebut dengan praktik pendidikan.

Antara teori dan konflik pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yang memiliki hubungan komplementer yang saling mengisi satu sama lainnya. Praktik pendidikan seperti pelaksanaan pendidikan dalam lingkungan keluarga, pelaksanaan pendidikan di sekolah, pelaksanaan pendidikan di masyarakat, dapat dijadikan sumber dalam penyusuanan suatu teori pendidikan. Suatu teori pendidikan dapat dijadikan sebagai suatu pedoman dalam melaksanakan praktik pendidikan itu.

Dari pengalaman kita menemukan kenyataan, bahwa banyak orang yang mengetahui atau mempelajari suatu teori pendidikan, tapi ia juga dapat menjadi seorang pendidik yang baik, berhasil dalam membimbing anak – anaknya. Sebaliknya juga dapat terjadi, seorang teori ahli pendidikan, misalnya seorang ahli filsafat pendidikan, seorang ahli psikologi pendidikan, seorang ahli pedagogik, dan sebagainya, belum dapat dijamin bahwa ia akan menjadi seorang pendidik yang baik belum dapat dijamin ia dapat berhasil mendidik anaknya sendiri.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

1.      Apa konsep dari Ilmu Pendidikan itu?

2.      Apa tujuan Ilmu Pendidikan?

3.      Apa ruang lingkup dari Ilmu Pendidikan?

4.      Apa syarat-syarat dari pengetahuan menjadi Ilmu Pendidikan?

5.      Apa sifat-sifat dari Ilmu Pendidikan?

6.      Apa manfaat mempelajari dan mendalami Ilmu Pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini adalah:

1.      Mengetahui konsep Ilmu Pendidikan;

2.      Mengetahui tujuan dari Ilmu Pendidikan;

3.      Mengetahui ruang lingkup Ilmu Pendidikan;

4.      Mengetahui syarat-syarat dari pengetahuan menjadi Ilmu Pendidikan;

5.      Mengetahui sifat-sifat dari Ilmu Pendidikan;

6.      Mengetahui manfaat mempelajari dan mendalami Ilmu Pendidikan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Ilmu Pendidikan

Pandangan ini berasal dari Eropa Barat, khusunya Belanda dengan ahli pendidikannya yang terkenal bernama Langeveld. Di negeri ini pendidikan secara resmi diakui sebagai Ilmu Pendidikan pada tahun 1925.  Ilmu Pendidikan adalah Ilmu yang mempelajari serta memproses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang di usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses, cara, pembuatan mendidik.

Pengertian ilmu pendidikan disampaikan oleh para pakar, antara lain :

  1. Prof. Dr. N. Driyarkara; pemikiran ilmiah tentang realitas yang disebut pendidikan (mendidik dan dididik).
  2. Prof. M. J. Langeveld; Paedogogic atau ilmu mendidik merupakan suatu ilmu yang bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak.
  3. Dr. Sutari Imam Barnadib; ilmu pendidikan mempelajari suasana dan proses-proses pendidikan.
  4. Prof. Brodjonegoro; ilmu pendidikan merupakan teori pendidikan, perenungan, tentang pendidikan.

Objek pendidikan ada dua macam, yaitu objek materi dan objek formal. Yang dimaksud dengan objek materi dan materinya atau bendanya yang dikenai pendidikan yaitu para peserta didik dan warga belajar. Sedangkan yang dimaksud dengan objek formal pendidikan ialah gejala yang tampak, dirasakan, dihayati, dan diekspresikan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Banyak ilmu yang berkaitan dengan manusia, seperti sosiologi, psikologi, biologi, pendidikan, dan sebagainya yang berobyek materi sama yaitu manusia, namun yang membedakan ilmu itu adalah objerk formalnya. Bila objek formal sosiologi adalah kemasyarakatn, objek formal psikologi adalah kejiwaan, objek formal biologi adalah jasmaniah, maka objek formal pendidikan adalah perilaku peserta didik dan warga belajar.

Metode penyelididkan Ilmu Pendidikan sama dengan metode penyelidikan ilmu-ilmu yang lainnya yaitu memakai metode penelitian ilmiah. Secara umum metode penelitian mencakup hal-hal berikut :

1.    Judul/ruang lingkup

2.    Masalah,  tujuan, dan hipotesis

3.    Tempat penelitian atau populasi dan sampel

4.    Instrumen pengambilan data tentang variabel-variabel yang diteliti

5.    Analisis data dan simpulan atau hasil.

Sejumlah hasil penelitian tentang objek yang sejenis akan membangun konsep tentang objek yang sejenis setelah dikomunikasikan secara universal akan membangun suatu teori tentang objek itu. Demikianlah cara-cara membentuk suatu teori. Dan manakala sejumlah teori merupakan satu keutuhan, maka ia akan membentuk suatu ilmu atau cabang ilmu.

B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan

Menurut Made Pinarta (2006: 7), Ilmu Pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori. Cabang-cabang ilmu pendidikan yang dimaksud adalah:

a. Pendidikan Teoretis

b. Sejarah Pendidikan dan Perbandingan Pendidikan

c. Pengembangan Kurikulum

d. Didaktik Metodik atau Proses Belajar Mengajar

e. Media dan Alat Belajar

f. Komunikasi dan Informasi Pendidikan

g. Bimbingan dan Konseling

h. Evaluasi Pendidikan

i. Profesi dan Etika Pendidik

j. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan

l. Organisasi dan Menejemen Pendidikan

m. Statistik dan Penelitian Pendidikan

Cabang-cabang ilmu pendidikan ini, suatu ketika sangat mungkin akan berkembang menjadi ilmu tersendiri. Bila kita perhatikan cabang-cabang Ilmu Pendidikan di atas, tampak dengan jelas merupakan sesuatu yang sistematis. Butir 1 dan 2 menjelaskan tentang Ilmu Pendidikan secara global atau menyeluruh. Butir 3 sampai dengan 6 membahas tentang bahan dan prosesing pendidikan. Butir 7 sampai dengan 8 membahas tentang faktor menunjang proses pendidikan. Butir 9 khusus tentang pendidik. Butir 10 sampai dengan 12 membahas tentang penyelenggaraan pendidikan. Dan butir 13, membahas tentang alat –alat mengembangkan ilmu pendidikan. Di samping sistematika tersebut di atas, ada masing-masing cabang itu sendiri juga materinya tersusun secara sistematis.

C. Tujuan Ilmu Pendidikan   

Mengenai syarat suatu ilmu harus mempunyai tujuan tersendiri, pendidikan juga suda persyaratan itu. Seperti kita ketahui, tujuan Ilmu Pendidikan sudah tercantum pada dokumen-dokumen sejumlah negara. Di Indonesia, tujuan pendidikan itu bisa dibaca pada Undang-Undang RI No.2 Tahun 1989, pada setiap GBHN, dan pada sejumlah Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan. Secara garis besar, tujuan Ilmu Pendidikan itu adalah untuk mengembangkan individu baik jasmani maupun rohani secara optimal, agar mampu meningkatkan hidup dan kehidupan diri, keluarga, dan masyarakatnya.

D. Syarat-Syarat Ilmu Pendidikan

Seperti diketahui, bahwa suatu pengetahuan dapat berubah menjadi suatu ilmu bila memenuhi persayaratan ilmu. Tampaknya pengetahuan tentang pendidikan ini dipandang sudah memenuhi persyaratan sebagai ilmu, syarat-syarat ilmu yang dimaksud secara ilmu adalah sebagai berikut:

a.       memiliki objek;

b.      punya metode penyelidikan;

c.       sistematis;

d.      punya tujuan sendiri.

Menurut Made Pinarta (2006: 8), ada juga sejumlah ahli yang mengatakan bahwa syarat suatu ilmu harus jelas Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologisnya. Ontologi adalah masalah apa, yaitu apa yang akan ditangani oleh pendidikan. Hal ini bertalian dengan objek materi dan objek formal ilmu pendidikan yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, ilmu pendidikan telah memiliki ontologi secara jelas. Sementara itu, Epistimologi Kebenaran dalam ilmu hanya dapat diwujudkan dengan metodologi ilmiah seperti juga telah diutarakan di atas. Syarat ini telah dipenuhi oleh Ilmu Pendidikan. Sedangkan Aksiologis yang membahas tindakan yang benar atau kegunaan pendidikan itu untuk kepentingan kesejahteraan manusia bertalian dengan tujuan pendidikan yang telah dibahas di atas, serta tindakan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian ketiga persyaratan ini, sudah dipenuhi oleh pendidikan untuk mendapatkan predikat ilmu pendidikan.

E. Sifat-Sifat Ilmu Pendidikan

Menurut Munib (2006: 34) ada beberapa sifat dari ilmu pendidikan, yaitu:

1. Ilmu pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Deskriptif-Normatif

Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan tentang, siapakah manusia biasaya termasuk bidang filsafat, yaitu filsafat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan  pendidikan.

Nilai yang dijunjung tinggi ini dijadikan norma untuk menentukan cirri-ciri manusia yang ingin dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai ini diperoleh hanya dari praktik dan pengalaman mendidik, tapi secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.

Untuk menjelaskan bahwa sistem nilai menjadi norma bagi pendidikan, maka di bawah ini kami sajikan beberapa uraian sebagai berikut :

a. Di Yunani Kuno orang sangat mementingkan tujuan pendidikan, yaitu pembentukan warga negara yang kuat. Orang Yunani mempunyai pandangan, bahwa manusia dilihat sebagai makhluk bermain (humo iudens). Jadi yang utama adalah pendidikan jasmani, karena di dalam tubuh yang sehat terdapat juga jiwa yang sehat (men sana in corpora sano). Dapat dipahami latar belakang mengapa mereka berpandangan demikian. Oleh karena Yunani terdiri atas negara yang banyak mengalami ketegangan, sehingga memerlukan kemampuan untuk mengatasi keadaan yang sulit. Sementara itu Yunani terdiri atas polis-polis (negara kota) yang saling berperang.

b. Pada abad ke-17, 18, dan 19 di Eropa Barat tampak Rasionalisme yang sangat kuat. Eropa Barat mempunyai pandangan tentang manusi sebagai berikut :

Manusia adalah makluk berfikir (homo sapiens), akal sebagai pangkal otak. Orang sangat menjunjung tinggi akal, baik akal teoritis maupun akal praktis. Dengan akal menusia menghasilkan pengetahuan. Dengan pengetahuan manusia dapat berbuat baik dalam pengertian sempurna. Sebagai contoh kita kembali ingat kepada Rene Descartes dengan metode keraguanya yang bersemboyan: “eogito ergo sun”, yang artinya saya berfikir, jadi saya ada. Oleh karena saya sadar bahwa saya ada, maka ada yang meng-Ada-kan dan yang meng-Ada-kan itu sempurna, maka yang diciptakan itu sempurna. Atas dasar titik tolak itu, maka paham ini berpendapat, bahwa akal (pengetahuan) maha kuasa.

John Lock, bapak Empirisme yang sangat mementingkan pengaruh pendidikan atas dasar teori tabularasa. Dari contoh-contoh di atas kelihatan, bahwa ada nilai-nilai tertentu yang menjadi norma, misalnya pengetahuan yang merupakan norma bagi pelaksana pendidikan.

c. Di Amerika Serikat kita berkenalan dengan John Dewey dengan filsafat Pragmatisme dan Etika Utilirianisme beserta dengan Psikologi Behaviorisme. Normanya terletak pada :”bahwa kebenaran itu terletak pada kenyataan yang praktis”. Apa yang berguna untuk diri itu adalah benar. Segala yang sesuai dengan praktik itulah yang benar.

Pandangan ini sangat berpengaruh dalam psikologi dan menghasilkan metode-metode mendidik dengan cara mendriil dan pelatihan yang pada akhirnya menghasilkan manusia sebagai mesin yang berdasarkanrespons terhadap stimulus.

 

2. Ilmu Pendidikan sebagai Ilmu yang Bersifat Teoritis dan Praktis-Pragmatis

Pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan diskriptif tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana cara sebaiknya untuk berfaedah terhadap objek didiknya. Jadi dilihat dari maksut dan tujuanya, ilmu mendidik boleh disebut “ilmu yang praktis”, sebab ditujukan kepada praktik dan perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi anak didiknya. Walaupun ilmu pendidikan ditujukan kepada praktik mendidik, namun perlu dibedakan ilmu pendidikan sebagai ilmu yang bersifat praktis-pragmatis.

Dalam ilmu mendidik teoritis kita bedakan, ilmu mendidik teoritis menjadi ilmu mendidik sistematis dan ilmu mendidik historis. Dalam ilmu mendidik teoritis para cerdik pandai mengatur dan mensistematiskan di dalam pemikiranya apa yang tersusun sebagai pola pemikiran pedidikan. Jadi dari praktik-praktik pendidikan disusun pemikiran-pemikiran secara teoritis. Pemikiran teoritis ini disusun dalam satu sistem pendidikan dan biasanya disebut ilmu mendidik teoritis. Ilmu mendidik teoritis ini disebut juga ilmu mendidik sistematis. Jadi sebenarnya kedua istilah itu mempunya arti yang sama, yaitu teoritis sama saja dengan sistematis.

Dalam rangka membicarakan ilmu mendidik teoritis perlu diperhatikan sejarah pendidikan. Dengan mempelajari sejarah endidikan itu terlihat telah tersusun pandangan – pandangan teoritis yang dapat dipakai sebagai peringatan untuk menyusun teori pendidikan selanjutnya.

Dapat disimpulkan bahwa ilmu mendidik sistematis mendahului ilmu mendidik historis. Akan tetapi ilmu mendidik historis memberikan bantuan dan memperkaya ilmu mendidik sistematis. Kedua-duanya membantu para pendidik agar berhati – hati dalam raktik – praktik pendidikan.

Para pendidik yang jenius itu sebenarnya juga menggunakan teorinya sendiri, walapun teori tersebut belum disistematiskan. Seorang mahaguru ilmu mendidik J.M Gunning pernah berkata: “teori tanpa praktik adalah baik pada kaum cerdik cendekiawan dan praktik tanpa teori hanya terdapat pada orang gila dan para penjahat”. Akan tetapi pada kebanyakan pendidik diperlukan teori dan praktik berjalan bersama-sama.

F. Manfaat Mempelajari dan Mendalami Ilmu Pendidikan

Menurut Samsul Arifin (2008), manfaat mempelajari dan mendalami Ilmu Pendidikan yaitu:
a. untuk membantu pemecahan masalah dan perencanaan secara konsepsional pendidikan Indonesia.
b. untuk membentuk pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti di kehendaki oleh pembukuan dan isi UUD 1945.

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Bahwa pendidikan lebih tua dibandingkan ilmu pendidikan, sebab pendidikan telah ada sebelum ilmu pendidikan. Syarat dari suatu pengetahuan dapat berubah menjadi suatu ilmu bila memenuhi persyaratan ilmu, yaitu memiliki objek, punya metode penyelidikan, sistematis, dan punya tujuan sendiri. Tampaknya pengetahuan tentang pendidikan ini dipandang sudah memnuhi persyaratan sebagai ilmu.

Tujuan dari Ilmu Pendidikan ialah untuk mengembangkan individu baik jasmani maupun rohani secara optimal, agar mampu meningkatkan hidup dan kehidupan diri, keluarga, dan masyarakatnya. Ada beberapa ruang lingkup dari Ilmu Pendidikan yaitu Pendidikan Teoretis, Sejarah Pendidikan dan Perbandingan Pendidikan, Pengembangan Kurikulum, Didaktik Metodik atau Proses Belajar Mengajar, Media dan Alat Belajar, Komunikasi dan Informasi Pendidikan, Bimbingan dan Konseling, Evaluasi Pendidikan, Profesi dan Etika Pendidik, Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Organisasi dan Menejemen Pendidikan, dan Statistik dan Penelitian Pendidikan.

Manfaat dari mempelajari Ilmu Pendidikan yaitu untuk membantu pemecahan masalah dan perencanaan secara konsepsional pendidikan Indonesia dan untuk membentuk pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti di kehendaki oleh pembukuan dan isi UUD 1945.

B.     Saran

Setelah membaca uraian di atas, hendaklah kita sebagai calon guru mempelajarai Ilmu Pendidikan karena akan bermanfaat bagi diri sendiri khususnya dan lembaga yang akan kita naungi kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Munib, dkk. 2006. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES Press.

Anne Ahira. 2009. Mengenal Ilmu Pendidikan. Tersedia pada http://www.anneahira.com/ilmu/ilmu-pendidikan.htm. Diundih pada tanggal 3 Maret 2011.

Made Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Samsul Arifin. 2008. Ilmu Pendidikan. Tersedia pada http://samsulbonpat.wordpress.com/2008/02/04/ilmu-pendidikan-2/. Diunduh pada tanggal 12 Maret 2011.

Umar Tirta Raharja dan La Sula. 2000. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Zahara Idris. 1984. Dasar-Dasar Kepribadian. Bandung: Angkasa.

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SD

Standard

PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER

DI SD


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistematika Pendidikan


Dosen Pengampu : Aisyah Nur S.N, S.Pd

Ika Oktavianti, S. Pd, M. Pd

Disusun Oleh Kelompok 2:

1.      Erin Setiasari                                     ( 2009-33-072 )

2.   Eka Sila Emiliana                               ­­­( 2009-33-098 )

3.    Mei Fika Pratamaningtyas Anwar   ( 2009-33-166 )

Kelas B


 

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Masalah

Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Banyak pakar, filsuf, dan orang-orang bijak yang mengatakan bahwa factor moral (akhlak) adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Salah satu kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orang tua kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral kepada anak-anak kita. Nilai-nilai moral yang ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera.

Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah berat yang harus dilalui, yaitu terjadinya krisis multidimensi yang berkepanjangan. Masalah ini sebetulnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa yang dicirikan oleh membudayanya praktek KKN, konflik, (antar etnis, agama, politisi, remaja, antar RW, dsb) meningkatnya kriminalitas, menurunnya etos kerja, dan banyak lagi. Budaya-budaya tersebut adalah penyebab utama Negara kita sulit untuk bangkit dari krisis ini.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasanya kelak. Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.

1

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

1.2       Rumusan Masalah

   Adapun rumusan masalah  pada makalah ini adalah:

1. Apa pengertian Pendidikan Karakter?

2. Bagaimana dampak dan peran pendidikan karakter di sekolah?

 

1.3       Tujuan Penulisan

   Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1.      Dapat mengetahui pengertian dan seluk beluk pendidikan karakter

2.      Dapat mengetahui dampak dan peran penerapan pendidikan karakter di Sekolah Dasar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1       Pendidikan Karakter

            Kata karakter berasal dari kata Yunani, Charassein, yang berarti mengukir sehingga terbentuk sebuah pola. Mempunya akhlak mulia adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses pengukiran). Dalam istilah bahasa Arab karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa akhlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati ynag baik. Oleh karena itu, pendidikan karakter adalah usaha aktif untuk membentuk kebiasaan baik (baik), sehingga sifat anak sudah terukir sejak kecil.

Pendidikan karakter juga dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

3

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

4

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

2.2       Dampak Pendidikan Karakter

            Beberapa penelitian bermunculan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

5

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

2.3       Pendidikan Karakter di Sekolah

Faktor kelurga sangat berperan dalam membentuk karakter anak. Namun kematangan emosi social ini selanjutnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah sejak usia dini sampai usia remaja. Bahkan menurut Daniel Goleman, banyaknya orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anak, kematangan, emosi social anak dapat dikoreksi dengan memberikan latihan pendidikan karakter kepada anak-anak di sekolah terutama sejak usia dini.

Sekolah adalah tempat yang strategis untuk pendidikan karakter karena anak-anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya.

6

Indonesia belum mempunyai pendidikan karakter yang efektif untuk menjadikan bangsa Indonesia yang berkarakter (tercermin dari tingkah lakunya). Padahal ada beberapa mata pelajaran yangberisikan tentang pesan-pesan moral, misalnya pelajaran agama, kewarganegaraan, dan pancasila. Namun proses pembelajaran yang dilakukan adalah dengan pendekatan penghafalan (kognitif). Para siswa diharapkan dapat menguasai materi yang keberhasilannya diukur hanya dengan kemampuan anak menjawab soal ujian (terutama dengan pilihan berganda). Karena orientasinya hanyalah semata-mata hanya untuk memperoleh nilai bagus, maka bagaimana mata pelajaran dapat berdampak kepada perubahan perilaku, tidak pernah diperhatikan. Sehingga apa yang terjadi adalah kesenjangan antara pengetahuan moral (cognition) dan perilaku (action). Semua orang pasti mengetahui bahwa berbohong dan korupsi itu salah dan melanggar ketentuan agama, tetapi banyak sekali orang yang tetap melakukannya. Tujuan akhir dari pendidikan karakter adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.

Menurut Berman, iklim sekolah yang kondusif dan keterlibatan kepala sekolah dan para guru adalah factor penentu dari ukuran keberhasilan interfensi pendidikan karakter di sekolah. Dukungan saran dan prasarana sekolah, hubungan antar murid, serta tingkat kesadaran kepala sekolah dan guru juga turut menyumbang bagi keberhasilan pendidikan karakter ini, disamping kemampuan diri sendiri (melalui motivasi, kreatifitas dan kepemimpinannya) yang mampu menyampaikan konsep karakter pada ana didiknya dengan baik.

2.4       Nilai-nilai Karakter Yang Perlu Ditanamkan di SD

Pada masyarakat yang heterogen dengan berbeda-beda latar belakang social budaya dan agama, adanya common values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini dapat menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi social yang harmonis, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran yang dijunjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya, sehingga hak semua orang dapat terpenuhi.

Ada beberapa nilai yang dianggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam deklarasi Aspen dihasilkan 6 nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam system pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:

1.      Dapat dipercaya

2.      Memperlakukan orang lain dengan hormat

3.      bertanggung jawab

4.      adil

5.      kasih sayang

6.

7

warga Negara yang baik

Sedangkan IHF telah membuat konsep 9 pilar karakter yang untuk dijadikan modul pendidikan karakter. Kesembilan plar ini adalah nilai-nilai yang bersifat universal yaitu (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, bijaksana, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

2.5       Membangun Karakter di Sekolah Secara Efektif

1.      Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang mengandung acuan nilai moral

Lawrence Kohlberg adalah seorang yang paling berperan dalam menerapkan metode values clarification atau yang dikenal dengan moral dilemmas. Apabila seseorang sejak kecil tidak diberitahukan bekal standard moral yang dianggap baik atau buruk dan tidak berlatih untuk beraku jujur , maka kapasitas untuk memilih “tidak mencuri” tidak dimiliki, sehingga dengan mudah diaa mengambil keputusan untuk mencuri. Apabila ia mempunyai kapasitas di dalam dirinya untuk berlaku jujur, maka perasaan bimbang akan muncul, dan ia dapat memilih diantara dua tindakan “mancuri” dan “tidak mencuri”.

Metode value clarification tidak membenarkan untuk mengajarkan standart dari moral, tetapi harus timbul dari dalam diri seseorang, seperti metode Socrates. Hal ini bukan berarti cara Socrates dengan argumentasi adalah salah, tetapi menurut William Kilpatrick, cara ini hanya tepat digunakan untuk orang dewasa atau orang yang mengetahui sebelumnya standart moral baik dan buruk. Bahkan menurut plato sebagai orang yang menguasai filsafat Socrates, metode argumentasi hanya dapat diberikan pada orang yang sudah dewasa atau diatas umur 30 tahun.

8

2.      Pendidikan karakter yang melibatkan aspek moral knowing, moral feeling, dan moral action

Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami , merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.

3.      Penerapan kurikulum pendidikan karakter secara eksplisit

John Dewey mengatakan bahwa sekolah yang tidak mempunyai program pendidikan karkter tetapi dapat mendirikan suasana lingkungan sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai moral, sekolah tersebut mempunyai pendidikan moral yang disebut hidden curriculum (kurikulum tersembunyi).

Salah satu kurikulum pendidikan karakter yang secara eksplisit dijalankan adalah metode pendidikan STAR (Stof,Think,Action,and Review) yang dikembangkan oleh Jafferson Center for Caracter Education yang berkedudukan di California, Amerika Serikat. Metode ini hnya memerlukan waktu 10 sampai 15 menit sehari sebelum kelas dimulai. Anak-anak mendapatkan pendidikan karakter dengan intruksi yang diberikan guru sesuai dengan kurikulum yang tersedia, dengan menggunakan beberapa tema secara bergantian (be responsible, be on time, be nice, be a good listener, dan sebgainya). Dengan menggunakan metode ini murid-murid sekolah digiring untuk mengerti konsep-konsep dengan cara berdiskusi. Kekurangan dari metode ini adalah kurang melibatkan aspek loving dan action.

4.      Menerapkan konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices)

 

9

Sistem pendidikan yang salah dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan sekarang menganggap anak-anak sebai bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menyalakan semangat agar murid lebih bergairah untuk belajar. Sebetulnya setiap manusia dianugrahkan insting kecenderungan alami untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses alami seperti halnya kita bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugrahkan 2 insting yaitu insting untuk menyedot air susu ibu dan insting belajar. Kline mengibartkan dengan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walaupun kita tidak pernah menginstruksikannya secara langsung. Ia belajar dengan cara bereksplorasi. Yang melibatkan seluruh aspek inderanya ; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkap berbicara, mendengar dan betul-betul dalam proses belajar ini.

Sistem pembelajaran DAP adalah memperlakukan anak sebagai individu yang utuh yang melibatkan 4 komponen pengetahuan keterampilan sifat alamiah dan perasaan karena pikirn emosi imajinasi dan sifat alamiah anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila system pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek ini secara bersamaan maka perkembangan intelektual, social dan karakter anak, dapat terbentuk secara simultan.

5.      Belajar menyenangkan, system pembelajaran terpadu berbasis karakter

 

Sekolah seharusnya bertanggung jawab untuk menumbuhkan kesenangan anak untuk belajar, sehingga mereka dapat belajar mengembangkan kemampuan dan bakatnya secara optimal. Menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, akan membentuk karakter yang kreatif, motivasi tinggi untuk terus mencari tahu, rasa tidak puas dengan ilmu yang diperolehnya serta sikap kerja keras dan pantang menyerah.

Salah satu aspek dari system DAP adalah dengan mengembangkan kurikulum pembelajaran terpadu agar anak-anak dapat menjadi manusia yang ingin belajar seumur hidup, sehingga dapat berpikir secara kritis, imajinatif, dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama, dan dapat menjadi insan yang peduli.

Keunggulan lain dari system pembelajaran terpadu adalah dapat membiasakan anak sejak usia dini untuk berpikir secara holistic, tidak berfikir fragmented, atau melihat masalah dari satu sisi saja.

10

6.      Pendidikan karakter yang sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak

Seperti halnya aspek perkembangan motorik, mental dan social anak yang berjalan secara bertahap dan memerlukan pendekatan yang patut sesuai dengan tahapan umur anak, pendidikan karakter yang diberikan kepada anak juga harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Misalnya, usia anak SD tidak dapat diharapkan untuk mempunyai pemahaman rasional yang dikaitan dengan tujuan menjaga keutuhan sebuah system social dengan cara yang abstrak. Proses sosialisasi pada tahapan ini dapat dilakukan dengan metode menumbuhkan kecintaan kepada kebajikan dengan contoh-contoh konkrit (membaca buku cerita, permainan, music dan menyanyi,dan sebagainya). Menurut seorang psikolog Lawrence Kohlberg, seseorang yang menghindari perilaku buruk karena takut akan hukuman adalatingkatan moral yang paling rendah.

Sedangkan tingkatan moral yang paling tinggi adalah ketika seseorang mempunyai pemahaman rasional tentang-tentang prinsip-prinsip moral universal agar kelangsungan hidup sebuah system masyarakat dapat dipertahankan. Thomas lickona mengatakan bahwa seseorang yang menjunjung tinggi prinsip moral hanya semata-mata ntuk mempertahankan sebuah system social kemasyarakatannya, belum tentu mempunyai tingkata moral tertinggi. Menurutnya, bisa saja sebuah sistem social mempengaruhi individu untuk bersikap buruk (misalnya mengajak untuk berperang untuk membom Negara lain, walaupun harus membunuh banyak orang-orang yang tak berdosa). Menurut Lickona seseorang yang mempunai tingkatan moral tertinggi adalah mereka yang dapat mempertahankan prinsip-prnsip moral yang menghargai hak azasi manusia, alaupun harus berseberangan dengan system sosialnya yang buruk.

11

Untuk mencapai tingkatan moral tertinggi, beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembangan moral individu, yang sebetulnya satu sama lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun di sekolah harus harus disesuaikan dengan tahaan perkembangan moral anak agar pendekatannya sesuai. Dengan mengacu pada tahapan-tahapan ini dapat diharapkan seseorang dapat mencapai tingkatan moral tertinggi. Namun tidak semua orang dapatmencapai fase tahapan moral tertinggi walaupun umurnya sudah jauh melampaui batas yang bisa dicapai. Seorang dewasa bisa saja tahapan moralnya masih pada tahapan moral yang dicapai anak usia dibawah 8 tahun.

Tampaknya untuk mencapai tahapan moral tertinggi seseorang harus berkemban hati nuraninya, yaitu yang mempunyai motto “saya harus setia kepada kebenaran universal”. Bukan kebenaran menurut “saya pribadi”, atau menurut “pemimpin”, atau “kelompok”. Walaupun tindakannya melawan hokum atau undang-undangyang berlaku (misalnya menolak membela Negara kalau Negara salah, atau menolak membayar pajak kalau uang pajak dikorupsi atau digunakan untuk membiayai perang), mereka ini tetap kuat mempertahankan prinsip kebenaran dan bersikap adl keoada seuruh manusia tanpa pandang bulu. Menurut banyak pakar, hanya sedikit sekali orang yang mencapai tahapan ini.

Hati nurani bisa tumbuh kalau sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebajikan. Seperti sudah diungkapkan sebeumnya, bahwa emosi atau kanan adalah ibarat otot, kalau tidak dibiasakan berfungsi maka akan menjadi lmpuh atau tidak berfungsi. Oleh karena itu, metode pendidikan karakter yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapai tahapan moral tertinggi.

7.      Bekerjasama dengan orang tua murid (co-parenting)

 

Orang tua murid harus menjadi partner dalam membentuk karakter anak, bahkan mempunyai peran utama. Sekolah yang menjalankan pendidikan karakter harus mempunyai rencana yang jelas tentang kegiatan yang dapat dilakukan bersama orang tua murid agar pembentukan karakter anak dapat terwujud.

Sekolah dapat melakukan seminar atau workshop untuk meningkatkan kesadaran para orang tua murid dan melibatkan mereka dalam kegiatan pendidikan karakter.

12

Hal lain yang dapat dilakukan adla dengan memberikan pekerjaan rumah yang dapat dikerjakan bersama antara orang tua, dan anaknya di rumah; misalnya membaca atau membuat puisi tentang topic tertentu, membaca buku cerita yang topiknya ditentukan, dan sebagainya. Cara ini dapat mengajak seluruh orang tua murid untuk dapat terlibat dalam pendidikan karakter anak-anaknya. Atau pihak sekolah dapat mengirimkan booklet mengenai tips-tips penting yang berkaitan dengan pendidikan karakterdan atau membuat bulletin atau newsletter yang bertemakan karakter dan disebarluaskan kepada orang tua.

8.      Prinsip-prinsip pendidikan karakter di sekolah

 

Langkah terakhir adalah dengan memperhatikan prinsip-prinsip penerapan pendidikan karakter. Character Education Quality Standards merekomendaikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai berikut:

–         mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter

–         mengidentifikasikan karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku

–         mengguanakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter

–         menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian

–         memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan perilaku yang baik

–         memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua siswa, membangun karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses

–         mengusahakan tumbuhnya motivasi diri para siswa

–         memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter yang setia kepada nilai dasar yang sama

–         adanya pembagian kepimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter

–         memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter

–         mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan siswa

13

2.6       Kiat-kiat Menjadi Pendidik Karakter yang Berhasil

1.      Guru sebagai pembangun citra diri positif anak

2.      Guru sebagai model atau tokoh idola

3.      Mendidik dengan mencelupkan diri

4.      Guru yang penuh inspirasi

5.      Menebar benih kebajikan tanpa pamrih

14

BAB III

PENUTUP

 

3.1       Simpulan

            Pendidikan diartikan sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

3.2       Saran

            Diharapkan dengan diterapkannya pendidikan karakter di SD dapat membentuk pribadi siswa yang unggul dalam berperilaku dan memiliki kepribadian yang sesuai dengan moral-moral pancasila dan agama. Untuk itu penerapan pendidikan karakter di SD sangat diperlukan, sehingga kita dapat menjadi orang yang bermoral dan berpancasila.

DAFTAR PUSTAKA

 

SIFAT DAN HAKIKAT MANUSIA

Standard

SIFAT DAN HAKIKAT MANUSIA

Guna Memenuhi Tugas Mata Sistematika Pendidikan SD

Semester Genap

Dosen Pengampu: Ika Oktavianti, M.Pd

Disusun oleh:

1.     Ana Juhairin                    (2009-33-094)

2.     Riska Susanti                  (2009-33-099)

3.     Srining Rahayu                (2009-33-109)

4.     Fatimatuz Zahro’             (2009-33-169)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

BAB I

PENDAHULUAN

1.4.   Latar Belakang

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaanya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidikan memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dengan hewan.

Ciri khas manusia yang membedakanya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan hakekat menusia. Disebut sifat hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidikan terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia dalam bersikap, menyusun startegi, metode dan tekhnik serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi dalam interaksi edukatif.

Sebagai pendidik bangsa Indonesia, kita wajib memiliki kejelasan mengenai hakekat manusia Indonesia seutuhnya. Sehingga dapat dengan tepat menyusun rancangan dan pelaksaaan usaha kependidikannya. Selain itu, seorang pendidik juga harus mampu mengembangkan tiap dimensi hakikat manusia, sebagai pelaksanaan tugas kependidikanya menjadi lebih profesional.

1.2  Rumusan Masalah

Dari beberapa uraian latar belakang diatas, dapat diambil beberapa rumusan masalah antara lain:

a) Apa yang dimaksud dengan sifat hakikat manusia?

b) Bagaimana wujud sifat hakikat manusia?

c) Bgaimana pengembangan wujud sifat hakikat manusia?

1.3  Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:

a)      Untuk mengenal lebih dalam tentang sifat hakikat manusia.

b)      Untuk mengetahui wujud sifat hakikat manusia.

c)      Untuk memahami pengembangan wujud sifat hakikat manusia

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian sifat dan hakikat manusia

Menurut ahli psikologi menyatakan bahwa hakekat manusia adalah rohani, jiwa atau psikhe. Jasmani dan nafsu merupakan alat atau bagian dari rokhani. Sifat hakikat manusia adalah ciri-ciri karakteristik yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan, menyusui anaknya dan pemakan segala. Bahkan carles darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang menemukan bahwa manusia berasal dari primat atau kera tapi ternyata gagal karena tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dari primat atau kera.

Disebut sifat hakikat manusia karena secara haqiqi sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Karena manusia mempunyai hati yang halus dan dua pasukannya. Pertama, pasukan yang tampak yang meliputi tangan, kaki, mata dan seluruh anggota tubuh, yang mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah yang disebut pengetahuan. Kedua, pasukan yang mempunyai dasar yang lebih halus seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Pengetahuan dan kemauan inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang.

2.2 Sifat Hakikat Manusia

Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil membedakan manusia dari hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.

Bahkan beberapa filosof seperti Socrates menamakanmanusia itu Zoon Politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke Tier (hewan yang sakit) (Drijarkara, 1962: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah.

Kenyataan dan pernyataan tersebut dapat menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya, misalnya air karena perubahan temperature lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang utan dapat dijadikan manusia. Padahal kita tahu bahwa manusia mempunyai akal dan pikiran yang dapat dijadikan sebagai perbedaan manusia dengan hewan.

2.3 Wujud Sifat Hakikat Manusia

Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakikat manusia menjadi delapan, yaitu :

1.      Kemampuan Menyadari Diri

Menurut kaum rasionalis kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan adanya menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) disekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya. Sehingga mempunyai kesadaran diri bahwa manusia mempunyai perbedaan dengan makhluk lainnya.

2.      Kemampuan Bereksistensi

Kemampuan bereksistensi yaitu kemampuan menempatkan diri, menerobos, dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelanggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada diri manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dikandang dan tumbuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 1962:61-63).

Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamannya, belajar mengantisipasi sesuatu keadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.

3.      Kata Hati (Consecience Of Man)

Kata hati atau (Consecience Of Man) sering disebut hati nurani, pelita hati, dan sebagainya. Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan “petujuk bagi moral/perbuatan”. Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.

4.      Moral

Moral juga disebut sebagai etika adalah perbuatan sendiri. Moral yang singkron dengan kata hati yang tajam yaitu benar-benar baik manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinngi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi.  Moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat.

5.      Tanggung Jawab

Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermaam-macam yaitu tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bertanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama misalnya perasaan berdosa dan terkutuk.

Tanggung jawab yaitu keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dengan demikian tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa suatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.

6.      Rasa Kebebasan

Merdeka adalah rasa bebas (tidak terikat oleh sesuatu) yang sesuai dengan kodrat manusia. Kemerdekaan berkait erat dengan kata hati dan moral. Yaitu kata hati yang sesuai dengan kodrat manusia dan moral yang sesuai dengan kodrat manusia.

7.      Kewajiban dan Hak

Kewajiban merupakan sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia. Sedangkan hak adalah merupakan sesuatu yang patut dituntut setelah memenuhi kewajiban

Dalam realitas hudup sehari-hari, umumnya diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan. Sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban. Tetapi ternyata kewajiban bukanlah menjadi beban melainkan suatu keniscayaan.

Realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Jadi, meskipun setiap warga punya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum memadai maka orang harus menerima keadaan relisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi.

8.      Kemampuan Menghayati Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan saja, tetapi merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kepuasan dan sejenisnya dengan pengalaman pahit dan penderitaan.
Manusia adalah mahluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungan, diri sendiri dan Tuhan. Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat dengan lingkungannya, dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.

Kebahagiaan ini dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.

Dimensi-dimensi  Hakikat Manusia serta Potensi, Keunikan, dan Dinamikanya

Berikut ini ada 4 dimensi yang akan dibahas, yaitu:

1.      Dimensi Keindividuan

Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, individu dan masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri Belanda)yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J. Langeveld, 1995:54). Bahkan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (kerohaniannya). Karena adanya individualitas itu setiap oarang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.

2.      Dimensi Kesosialan

Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J. Langeveld, 1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul.  Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukse pergaulan. Adanyta dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang kemudian sebagia balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya.

Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia. Karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Immanuel Kant seorang filosofis tersohor bangsa jerman menyataknan:  Manusia hanya menjadi manusia jika berada di sekitar manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

3.      Dimensi Kesusilaan

Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu pengertian susila berkembangsehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban.

Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat yaitu:

a.       Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak bisa dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.

b.      Golongan yang memandang bahwa etiket dan etika perlu dibedakan, karena masing-masing mengandung kondisi yang  tidak selamanya selalu berjalan. Kesopanan merupakan minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedangkan etika merupakan isinya.

Di dalam uraian ini kesusialaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakn nilai-nilai tersebit dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingg adapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam kehidupan.

4.      Dimensi Keberagamaan

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.

Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph. Khonstam berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.

Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi dari segi-segi afektif harus diutamakan.

2.4 Pengembangan Wujud Sikap Hakikat Manusia

Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan. Dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap menusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, seks, dan mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri maka ia tidak berbeda dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kea rah ststus manusiawi.meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik tetapi pelaksanaannya mungkin saja terjadi kesalahan-kesalahan yang biasa disebut salah didik.

Hal tersebut dapat terjadi karena pendidik adalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bias terjadi, yaitu :

1.      Pengembangan yang utuh, dan

2.      Pengembangan yang tidak utuh.

1.      Pengembangan utuh

Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan\ pelayanana atas perkembangannya. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.

Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:

a.       Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.

b.      Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

2.      Pengembangan yang tidak utuh

Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan kognitif.

Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

2.5 Sosok Manusia Seutuhnya.

Sosok manusia seutuhnya telah dirumuskan dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.

Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal untukmenghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.

Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.

3.2 Saran

Sebagai calon guru kita seharusnya memperhatikan anak didik dan memberikan bimbingan agar potensi–potensi terpendam yang terdapat dalam diri peserta didik dapat ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, A. 2010. Manusia dan Pendidikan Hakikat Manusia dan Pengembangannya. http://m-arif-am.blogspot.com. Diakses pada tanggal 03 Maret 2011.

Miranda, Dian. 2008. Hakekat Manusia dan pengembangannya. http://dianmiranda.wordpress.com. Diakses pada tanggal 03 maret 2011.

Oddi. 2009. Wujud Hakekat Manusia. http://oddy32.wordpress.com. Diunduh pada tanggal 03 Maret 2011.

Rojib. 2009. Hakekat Manusia dan Pengembangan Dimensinya. http://blog.beswandjarum.com. Diakses pada tanggal 03 maret 2011.

Tirtaharja, Umar dan La Sula. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

HAKIKAT PESERTA DIDIK

Standard

HAKIKAT PESERTA DIDIK

 

Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sistematika Pendidikan

Dosen Pengampu : Ika Oktavianti, M.Pd

 

 

 

Disusun Oleh:

1.     Vivi Rochmawati                    [2009 – 33 – 083]

2.     Yona Agustina              [2009 – 33 – 085]

3.     Ristyawan                      [2009 – 33 – 090]

4.     Ardiani Rizka U. F        [2009 – 33 – 117]

 

 

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

2011

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  LATAR BELAKANG

Didasari pada perbedaan peserta didik satu sama lain, yang memiliki minat kemampuan, kesenangan, pengalaman dan cara belajar yang berbeda. Oleh karena itu kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu beragam sesuai dengan karakteristik peserta didik.

Peserta didik memiliki potensi yang berbeda. Perbedaan peserta didik terletak dalam pola pikir, daya imajinasi, pengandaian dan hasil karyanya. Akibatnya, PBM perlu diplih dan dirancang agar memberikan kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan guna mengembangkan dan mengoptimalkan kreativitas peserta didik.

Untuk itu dalam hal ini, diperlukannya pemahaman dari guru untuk mengetahui keberagaman masing-masing peserta didik melalui strategi dan metode pembelajaran yang tepat untuk peserta didik.

1.2  RUMUSAN MASALAH

Dari uraian diatas, didapatkan permasalahan :

1.      Makna Peserta Didik

2.      Karakteristik Peserta Didik

3.      Potensi Peserta Didik

1.3  TUJUAN MAKALAH

Adapun tujuan dari makalah ini adalah :

1.   Untuk mengetahui makna peserta didik

2.   Untuk mengetahui karakteristik peserta didik

3.   Untuk mengetahui potensi peserta didik

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Makna Peserta Didik

Menurut kamus Echols & Shadaly, individu adalah kata benda dari individual yang berarti orang, perseorangan, oknum (Siti Hartinah : 2008).  Manusia diciptakan sebagai makhluk yang unik. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu pun manusia yang hanya memiliki sisi positif. Sebaliknya, tidak ada manusia yang hanya memiliki sisi negatif. Keinginan untuk menjadi diri sendiri itu ada pada setiap manusia. Maka setiap peserta didik yang berada dalam ikatan pendidikan dengan pendidiknya, adalah mereka yang kebebasannya ingin menjadi ”diri sendiri”.

Uraian tentang manusia dengan kedudukannya sebagai peserta didik haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh. Dalam kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan makhluk sosial, sebagai kesatuan jasmani dan rohani, dan sebagai makhluk Tuhan dengan menempatkan hidupnya didunia sebagai persiapan kehidupannya diakhirat. Dalam kegiatan kependidikan, sasaran yang kita harapkan akan menjadi orang dewasa adalah peserta didik, mereka menjadi tumpuan harapan agar menjadi manusi yang utuh, manusia bersusila dan bermoral, bertanggung jawab bagi kehidupan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat.

Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar dan peserta didik merupakan sinonim (persamaan), semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari sutu lembaga pendidikan. Peserta didik adalah subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat.

Peserta didik merupakan seseorang yang sedang berkembang memiliki potensi tertentu dengan bantuan pendidik (guru), ia mengembangkan potensinya tersebut secara optimal . Istilah peserta didik merupakan sebutan bagi semua orang yang mengikuti pendidikan dilihat dari tatanan makro. Menurut UU no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Dalam pengertian umum, anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.sedangkan dalam arti sempit anak didik adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik (Yusrina, 2006)

Peserta didik menunjukkan seseorang manusia yang belum  dewasa yang akan dibimbing oleh pendidiknya untuk menuju kedewasaan. Peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah individu manusia yang secara sadar berkeinginan untuk mengembangkan potensi dirinya (jasmani dan ruhani) melalui proses kegiatan belajar mengajar yang tersedia pada jenjang atau tingkat dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik dalam kegiatan pendidikan merupakan obyek utama (central object), yang kepadanya lah segala yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan dirujukkan.

2.2  Karakteristik Peserta Didik

Setiap peserta didik memiliki ciri dan sifat atau karakteristik yang diperoleh lingkungan. Agar pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteristik peserta didik. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik yang dimiliki sejak lahir baik menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis  Untuk mengetahui siapa peserta didik perlu dipahami bahwa sebagai manusia yang sedang berkembnag menuju kearah ke dewasaan memiliki beberapa karakteristik.

Menurut Tirtaraharja, 2000 (Uyoh Sadullah, 2010: ) mengemukakan 4 karakeristik yang dimaksudkan yaitu :

a.                Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas sehingga merupakan makhluk yang unik

b.               Individu yang sedang berkembang. Anak mengalami perubahan dalam dirinya secara wajar.

c.                Individu yang membutuhkan bimbingan individual.

d.               Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri dalam perkembangannya peserta didik memiliki kemampuan untuk berkembang kea rah kedewasaan.

Dalam mengungkapkan ciri-ciri anak didik Edi Suardi (1984) mengemukakan 3 ciri anak didik:

1.                  Kelemahan dan ketidakberdayaan.

Anak ketika dilahirkan dalam keadaan lemah yang tidak berdaya untuk dapat bergerak harus melalui berbagai tahapan. Kelemahan yang dimiliki anak adalah kelemahan rohaniah dan jasmaniah misalnya tidak kuat gangguan cuaca juga rohaniahnya tidak mampu membedakan keadaan yang berbahaya ataupun menyenangkan. Kelemahan dan ketidakberdayaan anak makin lama makin hilang karena berkat bantuan dan bimbingan pendidik atau yang disebut dengan pendidikan. Pendidikan akan berhenti  manakala kelemahan dan ketidakberdayaan sudah berubah menjadi kekuatan dan keberdayaan, yaitu suatu keadaan yang dimiliki oleh orang dewasa. Pendidikan justru ada karena adanya ciri kelemahan dan ketidakberdayaan tersebut.

2.                  Anak didik adalah makhluk yang ingin berkembang

Keinginan berkembang yang menggantikan ketidakmampuan pada saat anak lahir merupakan karunia yang besar untuk membawa mereka ketingkat kehidupan jasmaniah dan rohaniah yang tinggi lebih tinggi lebih tinggi dari makhluk lainnya. Keinginan berkembang mendorong anak untuk giat, itulah yang menyebabkan adanya kemungkinan atau pergaln yang disebut pendidikan. Tanpa keinginan berkembang pada anak, akan menjadikan tidak ada kemauan tidak mempunyai vitalitas, tidak giat bahkan barang kali menjadi malas dam acuh tak acuh.

3.                  Anak didik yang ingin menjadi diri sendiri.

Sepeti pernah dikemukakan bahwa anak didik itu ingin menjadi diri sendiri. Hal tersebut penting baginya karena untuk dapat bergaul dalam masyarakat. Seseorang harus merupakan diri sendiri, orang seorang atau pribadi. Tanpa itu manusia akan menjadi manusia penurut, dan manusia yang tidak punya pribadi. Pendidikan yang bersifatotoriter bahkan mematikan pribadi anak yang sedang tumbuh.

Secara garis besar karakteristik peserta didik dibentuk oleh dua faktor yaitu.

  • Faktor bawaan merupakan faktor yang diwariskan dari kedua orang tua individu yang menentukan karakteristik fisik dan terkadang intelejensi,
  • Faktor lingkungan merupakan faktor yang menentukan karakteristik spiritual, mental, psikis, dan juga terkadang fisik dan intelejensi. Faktor lingkungan dibagi menjadi tiga yaitu

a.    lingkungan keluarga,

Ø      Pada lingkungan keluarga seperti motivasi dari kedua orang tua agar menjadi orang yang sukses kedepannya dan tidak boleh kalah dengan kesuksesan orang tuanya, kesuksesan teman orang tuanya, kesuksesan anak teman orang tuanya, ingin merubah nasib keluarga yang melarat, motivasi sebagai kakak yang merupakan contoh bagi adik-adiknya, motivasi sebagai adik yang tidak boleh kalah dengan kesuksesan kakaknya.

b.   lingkungan sekolah,

Ø      Dari lingkungan sekolah seperti motivasi ingin menjadi juara kelas, motivasi ingin kaya karena melihat orang tua temannya yang kaya, ataupun motivasi dari gurunya.

c.    lingkungan masyarakat.

Ø      Lingkungan masyarakat misalnya motivasi dari tetangganya yang sukses, motivasi karena keluarganya selalu diremehkan masyarakat, ataupun motivasi karena masyarakatnya diremehkan masyarakat lain.

Setelah mengetahui faktor-faktor tersebut guru dapat memahami bahwa peserta didiknya digolongkan sebagai individu yang unik dan pilah karena peserta didik pada hakikatnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya perbedaan individual dalam diri masing-masing peserta didik membuat guru harus pandai-pandai menempatkan porsi keadilan dengan tepat pada setiap peserta didiknya. Misalnya saja dalam pelajaran fisika, tentunya tidak semua siswa berminat dalam pelajaran fisika, mungkin ada siswa berminat pada musik, lantas guru tidak harus memaksanya untuk dapat menyukai fisika apalagi memaksakan agar paham fisika lebih mendalam dengan memberikan soal dan tugas yang banyak dan sulit ditambah lagi sanksinya yang berat bila tidak dapat mengerjakan soal/tugas tersebut. Hal inilah yang nantinya menciptakan potensi buruk pada diri peserta didik sebagai hasil ketidakpuasanya terhadap lingkungan yang diterimanya.

Pada prinsipnya perkembangan psikis peserta didik selalu ke arah yang lebih baik seiring dengan tingkat materi pelajaran yang diberikan juga semakin tinggi sehingga membuat peserta didik terbiasa berpikir secara realistis dan sistematis. Tapi guru hendaknya mendukung dan membantunya mengembangkan potensi tersebut agar lebih optimal. Peserta didik yang demikian tidak perlu diajarkan fisika sampai mendalam karena itu hanya akan membuatnya menjadi jenuh pada setiap pertemuan dan sudah menjadi kompetensi guru untuk dapat menyadari hal ini, tapi bisa juga divariasikan konsep-konsep fisika yang berhubungan dengan bidang yang diminatinya, seandainya peserta didik tersebut tidak mengerti paling tidak pasti ia akan menikmati proses pembelajaran di kelasnya. Selain dengan cara itu guru juga bisa melakukan pendekatan-pendekatan dalam proses pembelajaran terhadap peserta didiknya dengan terlebih dahulu membaca situasi. Misalnya saja dengan memberikan kesempatan kepada siswa yang pintar untuk mengajarkan kepada temannya yang kurang mengerti. Seperti itulah guru yang profesional.

2.3  Peran Guru Dalam Mengembangkan Potensi Peserta Didik

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 39 ayat (2) menyebutkan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sedangkan dalam pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Agar pelayanan pendidikan yang selama ini diberikan kepada peserta didik mencapai sasaran yang optimal, maka pembelajaran harus diselaraskan dengan potensi peserta didik. Oleh karena itu guru perlu melakukan pelacakan potensi peserta didik.

Pemahaman tentang berbagai potensi peserta didik mutlak harus dimiliki oleh setiap pendidik. Hal itu sejalan dengan tujuh prinsip penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), yaitu (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, (2) Beragam dan terpadu, (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5) Menyeluruh dan berkesinambungan, (6) Belajar sepanjang hayat, dan (7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Agar kita dapat mengenali potensi peserta didik, cara yang paling mudah dan sederhana adalah dengan mengajukan pertanyaan, ”Apa yang paling senang kamu lakukan dan orang lain menilai hasilnya sangat bagus dan luar biasa?”. Sebagian peserta didik mungkin menjawab suka mengerjakan Matematika. Itu artinya dia memiliki kecerdasan logika. Sebagian siswa mungkin merasa senang apabila menulis atau belajar bahasa asing. Artinya, dia memiliki kecerdasan linguistik. Sebagian lagi mungkin senang bermain musik, dan sebagainya.

Dalam pembelajaran guru sebagai pendidik berinteraksi dengan peserta didik yang mempunyai potensi beragam. Untuk itu pembelajaran hendaknya lebih diarahkan kepada proses belajar kreatif dengan menggunakan proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen (proses berpikir mencari jawaban tunggal yang paling tepat). Dalam konteks ini guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator dari pada pengarah yang menentukan segala-galanya bagi peserta didik. Sebagai fasilitator guru lebih banyak mendorong peserta didik (motivator) untuk mengembangkan inisiatif dalam menjajagi tugas-tugas baru. Guru harus lebih terbuka menerima gagasan-gagasan peserta didik dan lebih berusaha menghilangkan ketakutan dan kecemasan peserta didik yang menghambat pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif.

Bagaimana hal ini dapat diwujudkan pada suasana pembelajaran yang dapat dinikmati oleh peserta didik? Jawabannya adalah pembelajaran menggunakan pendekatan kompetensi, antara lain dalam proses pembelajaran  guru :

1.         Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain dan berkreativitas,

2.         Memberi suasana aman dan bebas secara psikologis,

3.         Disiplin yang tidak kaku, peserta didik boleh mempunyai gagasan sendiri dan dapat berpartisipasi secara aktif

4.         Memberi kebebasan berpikir kreatif dan partisipasi secara aktif.

Semua ini akan memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Suasana kegiatan belajar-mengajar yang menarik, interaktif, merangsang kedua belahan otak peserta didik secara seimbang, memperhatikan keunikan tiap individu, serta melibatkan partisipasi aktif setiap peserta didik akan membuat seluruh potensi peserta didik berkembang secara optimal. Selanjutnya tugas guru adalah mengembangkan potensi peserta didik menjadi kemampuan yang maksimal.

Ternyata, banyak sekali potensi yang dimiliki peserta didik. Tugas pendidik adalah bagaimana agar potensi-potensi tersebut dapat berkembang dengan maksimal, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

Pengembangan potensi siswa melalui kegiatan intrakurikuler dapat terwujud melalui proses belajar yang melibatkan peserta didik secara aktif (active learning). Dengan demikian, siswa terus mengasah kecerdasan logika saat merumuskan ide-ide atau pendapat, kecerdasan bahasa saat menyampaikan secara lisan ide atau pendapat tersebut, kecerdasan keuletan saat harus beradu argumen dengan teman, kecerdasan intrapersonal saat harus bersikap toleran kepada yang lain, dan seterusnya.

BAB III

PENUTUP

3.1  SIMPULAN

Menurut UU no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik menunjukkan seseorang manusia yang belum  dewasa yang akan dibimbing oleh pendidiknya untuk menuju kedewasaan.

Secara garis besar karakteristik peserta didik dipengaruhi oleh faktor bawaan dan faktor lingkungan. Hal tersebut meruapkan dua faktor yang terbentuk karena faktro terpisah, masing-masing mempengaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi, makin disadari bahwa apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil dari perpaduan anatara apa yang ada diantara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan.

Dalam pembelajaran guru sebagai pendidik berinteraksi dengan peserta didik yang mempunyai potensi beragam. Untuk itu pembelajaran hendaknya lebih diarahkan kepada proses belajar kreatif dengan menggunakan proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen (proses berpikir mencari jawaban tunggal yang paling tepat).

3.2  SARAN

Sebagai calon guru, diharapkan agar kita mengetahui karakter masing-masing peserta didik dan dapat memahami bahwa setiap peserta didik mempunyai potensi yang berbeda. Sehingga sebagai calon guru nantinya kita dapat meningkatkan potensi yang ada pada peserta didik.

Hatinah, Siti. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Refika Aditama.

Murip Yahya. 2008. Pengantar Pendidikan. Bandng: Prospect.

Sadulloh. Uyoh. 2010. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: PT Alifa Beta.

Suardi, Edi. 1984. Pedagogik. Bandung: Angkasa.

Yusrina. 2006. Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP YPI Cempaka Putih Bintaro (Online) http://idb4.wikispaces.com/file/view/rc02pengaruh+PAI+terhadap+pembentukan+akhlak+siswa.pdf